15 November 2007 – 19/20 Februari 2011, tak terasa 3th 3bln 5hr, si BLACK singgah diperhentian ini. Banyak sekali kegembiraan, tapi tak dipungkiri pula ada keprihatinan yang masih berkecamuk dalam hatinya. Pikirannya mencoba meloncati awan-awan hitam yang menutup langit biru, berharap menggapai bintang kejora nun jauh di lubuk semesta. Hatinya bergejolak, membentuk asa yang bergantung di awang-awang, siapakah yang akan meraihnya? Jeng Maria hanya bisa melihat, tuk rengkuh hatinya, ada apa dengan dia? Jeng Maria tahu bahwa kepergian si BLACK, memunculkan rasa kehilangan bagi banyak orang. Kehadirannya sungguh memberikan: semangat tuk terlibat, asa untuk berdaya, rasa tuk mencinta, tetapi tak dipungkiri pula, kehadirannya menjadi alang-alang bagi kecenderungan hidup yang hanya menuruti rasa senang. Jeng Maria mencoba tuk menerka-nerka, apakah yang berkecamuk di dalam hatinya????
“Black, koq pindah to??? Mbok jangan pindah!” Sapaan akrab Jeng Maria kepadaku, untuk menyebutku, romo! Sambil mimblik-mimblik menahan tangis, dikuatkanlah hatinya. “Maluu banget khan nangis di hadapan romoku yang nggantheng iki. Aku harus kuat! Meski kusadar aku begitu kehilangan!” Batin Jeng Maria sembari mengusap matanya yang mulai mrebes mili. “Koq cepat sekali, BLACK! Baru saja aku mulai dekat, mendadak sekali kamu pindah!” lanjut Jeng Maria sajak tidak rela dengan kepindahanku.
“Black, koq pindah to??? Mbok jangan pindah!” Sapaan akrab Jeng Maria kepadaku, untuk menyebutku, romo! Sambil mimblik-mimblik menahan tangis, dikuatkanlah hatinya. “Maluu banget khan nangis di hadapan romoku yang nggantheng iki. Aku harus kuat! Meski kusadar aku begitu kehilangan!” Batin Jeng Maria sembari mengusap matanya yang mulai mrebes mili. “Koq cepat sekali, BLACK! Baru saja aku mulai dekat, mendadak sekali kamu pindah!” lanjut Jeng Maria sajak tidak rela dengan kepindahanku.
Itulah sekelumit kisah dari beberapa umatnya Jeng Maria, yang mewakili banyak yang lain, yang terekam dalam otakku saat aku mulai pamitan di lingkungan-lingkungan dan kapel dan ketika umat mulai tahu bahwa aku pindah. Meski sekali lagi, akupun mendengar bahwa kepindahanku juga membuat “senang” (klo tidak mau dikatakan “nyokurke”), bagi beberapa orang. Aku sadar itu, dan aku tidak akan memungkirinya. Kehadiranku tentu membawa pengaruh positif dan pula bisa jadi negatif, bagai dua sisi mata uang yang tak terpisah. Tidakkah begitu pula, dengan Yesus? Kehadiran dan karya-Nya pun tidak luput dari pro-kontra banyak orang Yahudi, pada waktu itu. Akan tetapi, visi dan misi tetap harus ditegakkan, jalan Tuhan harus diluruskan, yang tidak laras dengan semangat dan visi misi paroki, harus dibenarkan, seperti semangat Yohanes Pembaptis: “Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya. Setiap lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan, dan semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan.” (lih.Luk 3:4-6; Mat 3:3; Mrk 1:3)
“Wah, ya gimana ya, Jeng! Penginku sih juga mau berlama-lama di sini. Aku pun merasa sangat krasan dan gembira bisa hidup dan berbagi dengan seluruh umat. Banyak kisah yang penuh kasih, aku terima dari umat; banyak kasih yang penuh kisah, semakin meneguhkan arah dan gambaran imamatku. Tapi…..ya inilah yang namanya ketaatan, Jeng! Kadangkala, kita menginginkan sesuatu, tetapi kenyataan memberi yang lain….di sinilah ketaatan menjadi nyata. Seperti kata Yesus: bukan kehendakku yang terjadi, melainkan kehendakmu. Kayak kata-katamu juga, khan?” jawabku, untuk menenangkan hatinya.
“Tapi, njur sing ngopeni pepadhang sopo? Lha kamu tuh nganeni je, kotbahe ga marai ngantuk!” lanjut Jeng Maria, tetap belum mau terima. Tiga tahun, tiga bulan, lima hari sampai detik ini, aku berada di sini. “Romo koq imut to? (ireng mutlak –maksudnya)”, batin Jeng Maria waktu pertama kali melihatku, dari bangku tengah gereja, saat aku mimpin misa pertama kalinya. “Romo koq masih muda, baru lagi…! Wah..jan! sak pantarane anaku mbarep, je! Apalagi nek klecas-klecis ngrokok LA merah kesanyangannya…. ckckck….kaget aku! Romo koq ngrokok, ki loh! Bennnn….tak sembahyangke wae ben ngurangi le ngrokok!” batin Jeng Maria. Banyak komentar-komentar muncul saat kehadiran perdanaku di sini. Itulah tanda kasih dan perhatian dari umat yang hendak momong dan ngemong aku, sebab aku adalah romo baru, masih balita kayak bayi yang baru lahir, dan langsung berhadapan dengan dinamika umat yang mulai bangkit dan berkembang, waktu itu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan….tiga tahun lebih telah berlalu. Pepadhang itu semakin tampak jelas. Aku pun semakin dekat dengan umat, berdinamika bersamanya. Begitu semangatnya aku, rasa-rasanya jangan sampai aku kalah dengan umat yang begitu bersemangat dalam membangun iman dan mengembangkan Gereja: dengan keterlibatan mereka, dengan pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan harta mereka, demi melayani Yesus sebaik-baiknya. Aku yakin, pengorbanan umat tidak terhitung lagi jumlahnya untuk aku, untuk Gereja, untuk Yesus, meski aku tidak melihatnya, tapi aku bisa mendengar dan merasakannya: Pengorbanan waktu yang sebenarnya diperlukan untuk bercanda tawa dengan isteri, anak maupun tetangga, namun diberikannya dengan tulus, demi undanganku untuk rapat, untuk pelayanan Gereja, untuk hadir dalam ibadat dan ekaristi, dalam kegiatan-kegiatan Gereja. Pengorbanan tenaga dan pikiran diberikan pula, meski hampir-hampir lelah dan kantuk karena seharian bekerja keras memenuhi tanggungjawabnya, menghidupi keluarga dan anak-anak, agar dapur tetap mengepul. Pengorbanan harta, bahkan sampai-sampai menangung hutang atau menjual harta milik satu-satunya, demi dapat terlibat, ambil bagian dalam melayani Yesus. “Sungguh…luar biasa, Jeng! Umatmu ini!” ungkapku pada Jeng Maria, yang tampak tersenyum dan mulai terhibur karena kepergianku.
“Emang, BLACK, aku juga mengakuinya, umat kita ini, luar biasa!” kata Jeng Maria, sambil menatapku tegas. Matanya begitu indah dan berbinar-binar. Tatapannya begitu menggetarkan, dan itulah yang kerapkali membuatku terpesona. Dialah perempuan idaman…aku pun tergoda. Tatapannya membuat hatiku luluh tak berdaya untuk berkata tidak. Aku semakin mencintai Dia. Umat yang begitu luar biasa itulah yang membuatku untuk mengimbanginya dengan penuh kegembiraan. Aku pun sering melayani ekaristi, bahkan tiga/empat kali pun, kulakoni meski melanggar aturan….permintaan-permintaan dari luar paroki pun seringkali aku tolak, supaya aku bisa meladeni semangat umat yang begitu luar biasa itu…..sampai-sampai virus cinta mendatangiku…. cinta dari si cantik nan seksi. Dialah aides aigepti, perempuan sebelah yang sering menggodaku, mengintip dan mencumbuku dengan sengatnya yang tajam, saat aku terlena. Dialah si nyamuk demam berdarah, yang membuatku terkapar tak berdaya di rumah sakit sampai dua kali. Inilah kali pertama aku nginep di rumah sakit…inilah kedua kalinya aku terkulai lemas di sana….
“akankah aku mati, di sini, Jeng?” kataku kepada Jeng Maria yang waktu itu begitu setia menungguiku. “Sakit ini adalah anugerah, BLACK! Lihat saja, ntar!” hibur Jeng Maria. Benar saja, dengan peristiwa itu, pepadhang pun semakin jelas terlihat, sakit tidak perlu disesali, sakit perlulah dimaknai sebagai anugerah…sebagai karunia Allah yang menyapa…. dan menegaskanku bahwa aku… membutuhkan umat, demi keseimbangan. Aku tidak berarti apa-apa tanpa umat. Sebaliknya, imamatku menjadi berarti karena umat. Inilah pula yang mengubahku… menjadikanku untuk setia melayani dengan gembira, meski kadangkala nggrundel juga, saat lelah itu hinggap di ragaku; saat kemalasan dan kesombongan mudaku menggunduli semangatku. Namun, perjuangan untuk setia dalam pelayanan ….meski nggrundel pada awalnya, pada akhirnya membuahkan kegembiraan karena perjumpaan dengan umat yang tulus, sederhana dan begitu berharap akan kehadiranku sebagai imam, lebih-lebih ketika melayani sakramen minyak suci, melayani pemberkatan jenazah…melayani Ekaristi. Rasa bahagia bertumbuh ketika aku dan kehadiranku memberikan kekuatan dan penghiburan bagi mereka yang berduka; memberikan pepadhang bagi mereka yang sedang berada dalam kegelapan.
“Trimakasih, Jeng! Kamu selalu ada untuk aku, mau mendengarkan curhatku, mau mendengarkan pula luapan kegembiraanku! kataku kepadanya. “Pergilah, kamu diutus! Seperti motto imamatmu khan: pergilah dan wartakanlah Injil!” sahut Jeng Maria sambil menjabat erat tanganku…lalu memelukku dengan kasih. Itulah sekelumit kisah yang penuh kasih, yang kurasakan; dan kasih yang tersamar dalam kisah yang aku alami. Tidak mewakili seluruhnya, tetapi semoga ini menjadi bintang-bintang yang terlihat di malam hari nan cerah, maupun bintang-bintang yang tersamar di siang hari nan terik, namun setia untuk memancarkan sinarnya.
Oleh karena itu,
Hanya ucapan terimakasih dan syukur, aku persembahkan kepada Allah Bapa, kepada Tuhan Yesus, dan kepada Roh Kudus pemelihara, atas keselamatan dan kehidupan; atas kekuatan dan karunia sehingga aku dapat menyelesaikan tugasku di paroki ini. Dia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kita, dan Dia pula yang pasti akan menyelesaikannya dengan sempurna. (bdk Flp 1:6).
Hanya ucapan terimakasih dan syukur, aku haturkan kepada seluruh umat: ibu dan bapak, atas perhatian, sapaan, perlindungan, kebersamaan dan persaudaraan. Kalian adalah bapak simbokku di sini. Aku bersyukur untuk itu. Terimakasih, teman-temanku, para sahabat, yang kerap kali menghabiskan waktu hingga larut malam denganku, untuk memikirkan Gereja, untuk diskusi, curhat dan sharing. Kalian adalah kakak-adikku di sini, yang membangkitkan kreatifitas dan kecintaan akan hidup yang dinamis. Terimakasih pula untuk kalian, adik-adikku misdinar, para remaja, dan teman-teman kecilku…meski kalian masih kecil, tapi kalian menjadi adik-adikku, yang mengajariku untuk melaksanakan tugas dengan gembira.
Aku katakan “hanya” karena ucapan terimakasih dan syukur rasa-rasanya tidak cukup untuk membalas kasih dan kebaikan yang telah Allah tritunggal anugerahkan kepadaku. Tidak cukup rasa-rasanya, kehadiranku di paroki ini, untuk membalas kasih dan kebaikan bapak-simbok, para sahabat dan teman-teman kecilku selama ini.
Akhir cerita,
Tetangga sebelah, anaknya menawan.
Kalo ada salah, aku mohon pengampunan.
Tetangga sebelah, berambut putih.
Selamat berpisah, dan terima kasih.
“Wah, ya gimana ya, Jeng! Penginku sih juga mau berlama-lama di sini. Aku pun merasa sangat krasan dan gembira bisa hidup dan berbagi dengan seluruh umat. Banyak kisah yang penuh kasih, aku terima dari umat; banyak kasih yang penuh kisah, semakin meneguhkan arah dan gambaran imamatku. Tapi…..ya inilah yang namanya ketaatan, Jeng! Kadangkala, kita menginginkan sesuatu, tetapi kenyataan memberi yang lain….di sinilah ketaatan menjadi nyata. Seperti kata Yesus: bukan kehendakku yang terjadi, melainkan kehendakmu. Kayak kata-katamu juga, khan?” jawabku, untuk menenangkan hatinya.
“Tapi, njur sing ngopeni pepadhang sopo? Lha kamu tuh nganeni je, kotbahe ga marai ngantuk!” lanjut Jeng Maria, tetap belum mau terima. Tiga tahun, tiga bulan, lima hari sampai detik ini, aku berada di sini. “Romo koq imut to? (ireng mutlak –maksudnya)”, batin Jeng Maria waktu pertama kali melihatku, dari bangku tengah gereja, saat aku mimpin misa pertama kalinya. “Romo koq masih muda, baru lagi…! Wah..jan! sak pantarane anaku mbarep, je! Apalagi nek klecas-klecis ngrokok LA merah kesanyangannya…. ckckck….kaget aku! Romo koq ngrokok, ki loh! Bennnn….tak sembahyangke wae ben ngurangi le ngrokok!” batin Jeng Maria. Banyak komentar-komentar muncul saat kehadiran perdanaku di sini. Itulah tanda kasih dan perhatian dari umat yang hendak momong dan ngemong aku, sebab aku adalah romo baru, masih balita kayak bayi yang baru lahir, dan langsung berhadapan dengan dinamika umat yang mulai bangkit dan berkembang, waktu itu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan….tiga tahun lebih telah berlalu. Pepadhang itu semakin tampak jelas. Aku pun semakin dekat dengan umat, berdinamika bersamanya. Begitu semangatnya aku, rasa-rasanya jangan sampai aku kalah dengan umat yang begitu bersemangat dalam membangun iman dan mengembangkan Gereja: dengan keterlibatan mereka, dengan pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan harta mereka, demi melayani Yesus sebaik-baiknya. Aku yakin, pengorbanan umat tidak terhitung lagi jumlahnya untuk aku, untuk Gereja, untuk Yesus, meski aku tidak melihatnya, tapi aku bisa mendengar dan merasakannya: Pengorbanan waktu yang sebenarnya diperlukan untuk bercanda tawa dengan isteri, anak maupun tetangga, namun diberikannya dengan tulus, demi undanganku untuk rapat, untuk pelayanan Gereja, untuk hadir dalam ibadat dan ekaristi, dalam kegiatan-kegiatan Gereja. Pengorbanan tenaga dan pikiran diberikan pula, meski hampir-hampir lelah dan kantuk karena seharian bekerja keras memenuhi tanggungjawabnya, menghidupi keluarga dan anak-anak, agar dapur tetap mengepul. Pengorbanan harta, bahkan sampai-sampai menangung hutang atau menjual harta milik satu-satunya, demi dapat terlibat, ambil bagian dalam melayani Yesus. “Sungguh…luar biasa, Jeng! Umatmu ini!” ungkapku pada Jeng Maria, yang tampak tersenyum dan mulai terhibur karena kepergianku.
“Emang, BLACK, aku juga mengakuinya, umat kita ini, luar biasa!” kata Jeng Maria, sambil menatapku tegas. Matanya begitu indah dan berbinar-binar. Tatapannya begitu menggetarkan, dan itulah yang kerapkali membuatku terpesona. Dialah perempuan idaman…aku pun tergoda. Tatapannya membuat hatiku luluh tak berdaya untuk berkata tidak. Aku semakin mencintai Dia. Umat yang begitu luar biasa itulah yang membuatku untuk mengimbanginya dengan penuh kegembiraan. Aku pun sering melayani ekaristi, bahkan tiga/empat kali pun, kulakoni meski melanggar aturan….permintaan-permintaan dari luar paroki pun seringkali aku tolak, supaya aku bisa meladeni semangat umat yang begitu luar biasa itu…..sampai-sampai virus cinta mendatangiku…. cinta dari si cantik nan seksi. Dialah aides aigepti, perempuan sebelah yang sering menggodaku, mengintip dan mencumbuku dengan sengatnya yang tajam, saat aku terlena. Dialah si nyamuk demam berdarah, yang membuatku terkapar tak berdaya di rumah sakit sampai dua kali. Inilah kali pertama aku nginep di rumah sakit…inilah kedua kalinya aku terkulai lemas di sana….
“akankah aku mati, di sini, Jeng?” kataku kepada Jeng Maria yang waktu itu begitu setia menungguiku. “Sakit ini adalah anugerah, BLACK! Lihat saja, ntar!” hibur Jeng Maria. Benar saja, dengan peristiwa itu, pepadhang pun semakin jelas terlihat, sakit tidak perlu disesali, sakit perlulah dimaknai sebagai anugerah…sebagai karunia Allah yang menyapa…. dan menegaskanku bahwa aku… membutuhkan umat, demi keseimbangan. Aku tidak berarti apa-apa tanpa umat. Sebaliknya, imamatku menjadi berarti karena umat. Inilah pula yang mengubahku… menjadikanku untuk setia melayani dengan gembira, meski kadangkala nggrundel juga, saat lelah itu hinggap di ragaku; saat kemalasan dan kesombongan mudaku menggunduli semangatku. Namun, perjuangan untuk setia dalam pelayanan ….meski nggrundel pada awalnya, pada akhirnya membuahkan kegembiraan karena perjumpaan dengan umat yang tulus, sederhana dan begitu berharap akan kehadiranku sebagai imam, lebih-lebih ketika melayani sakramen minyak suci, melayani pemberkatan jenazah…melayani Ekaristi. Rasa bahagia bertumbuh ketika aku dan kehadiranku memberikan kekuatan dan penghiburan bagi mereka yang berduka; memberikan pepadhang bagi mereka yang sedang berada dalam kegelapan.
“Trimakasih, Jeng! Kamu selalu ada untuk aku, mau mendengarkan curhatku, mau mendengarkan pula luapan kegembiraanku! kataku kepadanya. “Pergilah, kamu diutus! Seperti motto imamatmu khan: pergilah dan wartakanlah Injil!” sahut Jeng Maria sambil menjabat erat tanganku…lalu memelukku dengan kasih. Itulah sekelumit kisah yang penuh kasih, yang kurasakan; dan kasih yang tersamar dalam kisah yang aku alami. Tidak mewakili seluruhnya, tetapi semoga ini menjadi bintang-bintang yang terlihat di malam hari nan cerah, maupun bintang-bintang yang tersamar di siang hari nan terik, namun setia untuk memancarkan sinarnya.
Oleh karena itu,
Hanya ucapan terimakasih dan syukur, aku persembahkan kepada Allah Bapa, kepada Tuhan Yesus, dan kepada Roh Kudus pemelihara, atas keselamatan dan kehidupan; atas kekuatan dan karunia sehingga aku dapat menyelesaikan tugasku di paroki ini. Dia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kita, dan Dia pula yang pasti akan menyelesaikannya dengan sempurna. (bdk Flp 1:6).
Hanya ucapan terimakasih dan syukur, aku haturkan kepada seluruh umat: ibu dan bapak, atas perhatian, sapaan, perlindungan, kebersamaan dan persaudaraan. Kalian adalah bapak simbokku di sini. Aku bersyukur untuk itu. Terimakasih, teman-temanku, para sahabat, yang kerap kali menghabiskan waktu hingga larut malam denganku, untuk memikirkan Gereja, untuk diskusi, curhat dan sharing. Kalian adalah kakak-adikku di sini, yang membangkitkan kreatifitas dan kecintaan akan hidup yang dinamis. Terimakasih pula untuk kalian, adik-adikku misdinar, para remaja, dan teman-teman kecilku…meski kalian masih kecil, tapi kalian menjadi adik-adikku, yang mengajariku untuk melaksanakan tugas dengan gembira.
Aku katakan “hanya” karena ucapan terimakasih dan syukur rasa-rasanya tidak cukup untuk membalas kasih dan kebaikan yang telah Allah tritunggal anugerahkan kepadaku. Tidak cukup rasa-rasanya, kehadiranku di paroki ini, untuk membalas kasih dan kebaikan bapak-simbok, para sahabat dan teman-teman kecilku selama ini.
Akhir cerita,
Tetangga sebelah, anaknya menawan.
Kalo ada salah, aku mohon pengampunan.
Tetangga sebelah, berambut putih.
Selamat berpisah, dan terima kasih.
Kartasura, 19-20 Februari 2011
J-Christ
Berkah Dalem
J-Christ
Berkah Dalem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar