Selasa, 03 Januari 2012
“MENDIDIK KAWULA MUDA DENGAN KEADILAN DAN DAMAI”.
Jumat, 02 Desember 2011
PESAN NATAL 2011
Senin, 09 Mei 2011
PESAN PAUS HARI DOA SEDUNIA UNTUK PANGGILAN KE-48
MENDORONG PANGGILAN DALAM GEREJA LOKAL
Saudara-saudari terkasih,
Hari Doa Sedunia Untuk Panggilan Ke-48 yang dirayakan pada tgl.15 Mei 2011, Minggu IV Masa Paskah, mengajak kita untuk merenungkan tema: MENDORONG PANGGILAN DALAM GEREJA LOKAL. Tujuh puluh tahun yang lalu, Venerabilis Paus Pius XII mendirikan sebuah Serikat Kepausan untuk Panggilan Imam. Serikat-serikat serupa, yang dipimpin oleh para imam dan anggota-anggotanya adalah kaum awam, secara berturut-turut didirikan oleh para uskup di banyak keuskupan, sebagai suatu tanggapan atas panggilan Sang Gembala Baik yang, “ketika Dia melihat orang banyak itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan telantar seperti domba tanpa gembala”. Lebih lanjut, Ia berkata: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja ke tuaian itu” (Mat.9:36-38).
Pekerjaan berat yang dapat meneguhkan dan mendukung panggilan menemukan sumber inspirasinya dari perikop Injil tersebut di atas, dimana Yesus memanggil para murid-Nya untuk mengikuti Dia dan melatih mereka dengan kasih dan perhatian. Kita hendaknya menaruh perhatian lebih dekat lagi pada cara Yesus memanggil orang-orang terdekat-Nya untuk mewartakan Kerajaan Allah (bdk. Luk.10:9). Pada tempat pertama, nampak jelas sekali bahwa hal pertama yang Ia lakukan adalah berdoa bagi mereka. Sebelum memanggil mereka, Yesus menghabiskan semalaman suntuk sendirian dalam doa sambil mendengarkan kehendak Bapa (bdk. Luk.6:12), dalam semangat kelepasan batin dari hal-hal duniawi. Ini merupakan percakapan yang mesra antara Yesus dengan Bapa-Nya sehingga menghasilkan panggilan bagi para murid-Nya. Panggilan pelayanan imammat dan hidup bakti pertama-tama dan terutama adalah buah dari kontak yang terus menerus dengan Allah yang hidup dan doa yang terus menerus diangkat kepada “Tuhan si empunya panenan” apakah dalam jemaat-jemaat paroki, dalam keluarga-keluarga Kristiani atau dalam kelompok-kelompok tertentu yang secara khusus membaktikan doa bagi panggilan.
Pada awal penampilan-Nya di depan umum, Tuhan memanggil beberapa nelayan di tepi pantai danau Galilea: “Mari, ikutilah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mat.4:19). Ia menyatakan perutusan mesianis-Nya kepada mereka dengan banyak “tanda” yang menunjukkan kasih-Nya kepada manusia dan anugerah belas kasih Bapa. Melalui Sabda dan cara hidup-Nya, Ia mempersiapkan mereka untuk melaksanakan karya keselamatan-Nya. Akhirnya, mengetahui “bahwa saat-Nya telah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa” (Yoh.13:1), Ia mempercayakan kepada mereka kenangan akan wafat dan kebangkitan-Nya, dan sebelum naik ke sorga, Ia mengutus mereka keluar ke seluruh dunia dengan perintah: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Mat.28:19).
Ini merupakan suatu undangan yang membanggakan sekaligus menantang ketika Yesus berbicara kepada mereka dan berkata: “Ikutilah Aku”. Ia mengundang mereka menjadi sahabat-sahabat-Nya, mendengarkan firman-Nya dengan penuh perhatian dan tinggal bersama-Nya. Ia mengajarkan kepada mereka suatu komitmen yang total bagi Allah dan bagi perkembangan Kerajaan-Nya sesuai dengan perintah Injil: “Jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh.12:24). Ia mengajak mereka untuk meninggalkan rancangan dan pandangan kesempurnaan diri yang sempit agar dapat menceburkan diri ke dalam kehendak yang lain, yaitu kehendak Allah, dan dibimbing oleh kehendak-Nya. Ia menganugerahkan kepada mereka suatu pengalaman persaudaraan, yang dilahirkan dari keterbukaan secara total kepada Allah (bdk. Mat.12:49-50) yang menjadi ciri khas jemaat Yesus: “Dengan demikian setiap orang akan mengetahui bahwa kamu adalah murid-Ku jikalau kamu mengasihi satu sama lain.” (Yoh.13:35).
Mengikuti Kristus pada masa kini tidaklah kurang menantang. Artinya kita belajar untuk tetap setia mengarahkan diri kita kepada Yesus, tumbuh semakin dekat dengan-Nya, mendengarkan firman-Nya dan menjumpai-Nya dalam sakramen-sakramen; ini berarti menyelaraskan kehendak kita dengan kehendak-Nya. Untuk itu dibutuhkan suatu tempat pembinaan yang tepat bagi semua orang yang ingin mempersiapkan diri untuk pelayanan imamat dan hidup bakti (religius atau biarawan-biarawati) di bawah bimbingan para pejabat Gereja yang kompeten. Tuhan tidak sia-sia memanggil umat-Nya pada setiap jenjang kehidupan untuk mengambil bagian dalam perutusan-Nya dan melayani Gereja dalam diri para pelayan tertahbis dan kaum religius. Gereja dipanggil untuk “menjaga anugerah ini, menghargai dan mencintainya. Gereja harus bertanggung-jawab terhadap kelahiran dan perkembangan panggilan imamat” (Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Pastores Dabo Vobis, 41). Khususnya pada masa kini, ketika suara Tuhan nampak dikalahkan oleh “suara-suara lain” dan undangan-Nya untuk mengikuti Dia melalui pengorbanan hidup nampak terlalu sulit, maka setiap jemaat Kristiani, setiap anggota Gereja, secara sadar harus merasa bertanggung-jawab demi memajukan panggilan. Sangatlah penting untuk mendorong dan mendukung mereka yang telah menunjukkan tanda-tanda yang jelas atas panggilan imamat dan hidup bakti dan membantu mereka merasakan kehangatan seluruh jemaat sehingga mereka mampu menjawab “ya” kepada Allah dan kepada Gereja. Saya mendukung mereka, dengan kata-kata yang persis sama dengan kata-kata yang saya sampaikan kepada para seminaris: “Anda telah melakukan suatu hal yang baik. Karena orang akan selalu membutuhkan Allah, bahkan pada era dunia yang dikuasai oleh teknologi dan globalisasi: mereka akan selalu membutuhkan Allah yang telah menyatakan diri-Nya dalam Yesus Kristus, Allah yang mengumpulkan kita semua dalam Gereja universal supaya belajar bersama Dia dan melalui Dia makna hidup yang sejati agar dapat menegakkan dan melaksanakan standar kemanusiaan yang sejati” (Surat kepada Para Seminaris, 18 Oktober 2010).
Adalah sesuatu yang hakiki bahwa setiap Gereja Lokal menjadi semakin peka dan perhatian terhadap reksa pastoral panggilan, khususnya dalam membantu anak-anak dan kaum muda di setiap keluarga, paroki dan kelompok-kelompok tertentu – sebagaimana telah diperbuat oleh Yesus sendiri kepada para murid-Nya – menumbuhkan suatu persahabatan yang sejati dan penuh kasih kepada Tuhan, mengolahnya dalam doa-doa pribadi maupun liturgis (bersama); tumbuh dalam keakraban dengan Kitab Suci dan karenanya mendengarkan Firman Tuhan dengan penuh perhatian dan menghasilkan buah yang melimpah; memahami bahwa masuk ke dalam kehendak Allah itu tidaklah menghancurkan diri pribadi, melainkan sebaliknya justru menghantar seseorang mencapai pada penemuan kebenaran yang terdalam tentang diri sendiri; dan akhirnya mampu membangun relasi dengan orang lain secara jujur dan penuh rasa persaudaraan, karena hal itu terjadi bila kita mau terbuka terhadap kasih Allah hingga kita mampu menemukan kegembiraan yang sejati dan meraih cita-cita kita. “MENDORONG PANGGILAN DALAM GEREJA LOKAL” berarti memiliki keberanian, melalui perhatian terhadap keprihatinan akan panggilan, untuk menunjukkan cara mengikuti Kristus yang menantang ini, karena maknanya sungguh kaya dan melibatkan seluruh hidup seseorang.
Yang terkasih saudaraku para uskup, saya ingin menyapa Anda semua secara khusus. Untuk menjamin kontinuitas dan perkembangan misi Kristus yang menyelamatkan, Anda harus “mendorong panggilan imamat dan hidup bakti sebanyak mungkin, dan Anda harus memiliki perhatian khusus pada panggilan missioner” (Christus Dominus, 15). Tuhan membutuhkan Anda untuk bekerja-sama dengan Dia untuk menjamin bahwa panggilan-Nya sampai ke dalam hati mereka yang telah Dia pilih. Pilihlah secara seksama mereka yang bekerja di Kantor (Komisi) Panggilan Keuskupan yang menjadi sarana promosi panggilan dan organisasi pastoral panggilan dan doa yang menopang dan menjamin semuanya itu secara efektif. Saya juga ingin mengingatkan Anda, para uskup yang terkasih, perhatian terhadap Gereja universal terkait dengan pendistribusian para imam di seluruh dunia secara adil. Keterbukaan hati Anda terhadap kebutuhan-kebutuhan di banyak keuskupan yang sedang mengalami kekurangan dalam hal panggilan akan menjadi berkat Allah bagi jemaat-jemaat di keuskupan Anda dan menjadi suatu tanda bagi umat beriman akan suatu pelayanan imamat yang memberi perhatian secara tulus terhadap aneka kebutuhan seluruh Gereja.
Konsili Vatikan II secara jelas mengingatkan kita bahwa “tugas pengembangan panggilan terletak pada seluruh jemaat Kristen, terutama melalui peri hidup Kristiani yang sungguh-sungguh” (Optatam Totius, 2). Maka dari itu saya ingin menyampaikan pesan khusus sebagai ungkapan pengakuan dan dukungan saya bagi mereka yang bekerja di berbagai bidang bersama para imam di paroki-paroki mereka. Khususnya, saya tujukan kepada mereka yang dapat menawarkan suatu bantuan khusus pada reksa pastoral panggilan : para imam, keluarga-keluarga, para katekis dan ketua-ketua kelompok/organisasi di paroki. Saya minta kepada para imam suatu kesaksian tentang persekutuan mereka dengan uskup-nya dan dengan para imam rekan sekerja mereka; sebab dengan demikian berarti menyediakan tanah yang subur untuk penyemaian benih-benih panggilan imamat. Semoga keluarga-keluarga “dijiwai oleh semangat iman dan kasih serta ditandai sikap bakti….” (Optatam Totius, 2), mampu membantu anak-anak menerima panggilan imamat dan kehidupan religius secara tulus. Semoga para katekis dan para pimpinan organisasi Katolik serta gerakan-gerakan gerejani, yang diperkuat oleh pendidikan misi, berusaha “membimbing kaum muda yang dipercayakan kepada mereka sedemikian rupa sehingga mereka dapat mengenal dan menerima dengan suka rela panggilan illahi” (ibid).
Saudara-saudariku yang terkasih, komitmen Anda terhadap pengembangan dan keprihatianan terhadap panggilan menjadi begitu penting; dan dilihat dari sudut reksa pastoral sangatlah efektif kalau semua itu dilakukan dalam kesatuan dengan Gereja dan demi pelayanan jemaat. Atas dasar alasan inilah maka setiap saat dalam kehidupan jemaat Gereja ini – katekese, pertemuan-pertemuan pembinaan, doa-doa liturgis, ziarah – dapat menjadi suatu kesempatan yang sangat berharga demi pembangunan Umat Allah, khususnya bagi anak-anak dan kaum muda, rasa ikut memiliki Gereja dan tanggung-jawab untuk menanggapi panggilan imamat dan kehidupan religius dengan pemahaman yang cukup dan keputusan yang bebas.
Kemampuan untuk mendorong panggilan adalah suatu tanda vitalitas suatu Gereja Lokal. Dengan yakin dan setia, marilah kita berdoa mohon bantuan kepada Perawan Maria, bahwa melalui teladannya untuk menerima rencana Allah yang menyelamatkan dan melalui permohonanya yang sangat kuat-kuasa, setiap jemaat menjadi semakin lebih terbuka untuk menyatakan “ya” kepada Tuhan yang secara terus menerus memanggil para pekerja yang baru ke panenannya. Atas dasar harapan ini, dengan gembira saya memberikan Berkat Apostolik saya.
Dari Vatikan, 15 November 2010.
Senin, 07 Maret 2011
SURAT GEMBALA PRAPASKA 2011 KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG
Selasa, 01 Maret 2011
SURAT GEMBALA PRAPASKA 2011 KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG
Saudari-saudaraku yang terkasih,
Salam, doa dan Berkah Dalem,
Semarang, 25 Februari 2011
+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang
Selasa, 11 Januari 2011
SURAT GEMBALA PEMAKLUMAN ARAH DASAR KAS 2011-2015 & SYUKUR ATAS ULANG TAHUN HIRARKI INDONESIA KE-50 8-9 JANUARI 2011

Kaum muda, remaja dan anak-anak,
Saudari dan saudaraku yang terkasih dalam Kristus.
Kamis, 18 November 2010
Pesan Natal KWI - PGI 2010
(bdk. Yoh. 1:9)
segenap umat Kristiani Indonesia di mana pun berada,
Salam sejahtera dalam kasih Tuhan kita Yesus Kristus.
1. Pada saat ini kita semua sedang berada di dalam suasana merayakan kedatangan Dia, yang mengatakan: "Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup"1. Dalam merenungkan peristiwa ini, rasul Yohanes dengan tepat mengungkapkan: "Terang yang sesungguhnya itu sedang datang ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya"2. Suasana yang sama juga meliputi perayaan Natal kita yang terjalin dan dikemas untuk merenungkan harapan itu dengan tema: "Terang yang sesungguhnya sedang datang ke dunia".
2. Saudara-saudari terkasih,
Kita bersyukur boleh hidup dalam suatu negara yang secara konsti-tusional menjamin kebebasan beragama. Namun akhir-akhir ini gejala-gejala kekerasan atas nama agama semakin tampak dan mengancam ke-rukunan hidup beragama dalam masyarakat. Hal ini mencemaskan pihak-pihak yang mengalami perlakuan yang tidak wajar dalam masyarakat kita. Kita semakin merasa risau akan perkembangan "peradaban" yang mengarus-utamakan jumlah penganut agama; "peradaban" yang memenangkan mereka yang bersuara keras berhadapan dengan mereka tidak memiliki kesempatan bersuara; "peradaban" yang memenangkan mereka yang hidup mapan atas mereka yang terpinggirkan. Peradaban yang sedemikian itu pada gilirannya akan menimbulkan perselisihan, kebencian dan balas-dendam: suatu peradaban yang membuahkan budaya kematian dari pada budaya cinta yang menghidupkan.
Keadaan yang juga mencemaskan kita adalah kehadiran para penang-gungjawab publik yang tidak sepenuhnya memperjuangkan kepentingan rakyat kebanyakan. Para penanggungjawab publik memperlihatkan kiner-ja dan moralitas yang cenderung merugikan kesejahteraan bersama. So-rotan media massa terhadap kinerja penanggungjawab publik yang kurang peka terhadap kepentingan masyarakat, khususnya yang terung-kap dengan praktek korupsi dan mafia hukum hampir di segala segi kehidupan berbangsa, sungguh-sungguh memilukan dan sangat mempri-hatinkan, karena itu adalah kejahatan sosial.
Kenyataan ini yang berlawanan dengan keadaan masyarakat yang sema-kin jauh dari sejahtera, termasuk sulitnya lapangan kerja, semakin mem-perparah kemiskinan di daerah pedesaan dan perkotaan. Keadaan ini diperberat lagi oleh musibah dan bencana yang sering terjadi, baik karena faktor murni alami maupun karena dampak campur-tangan kesalahan manusiawi, terutama dalam penanganan dan penanggulangannya. Sisi-sisi gelap dalam peradaban masyarakat kita dewasa ini membuat kita semakin membutuhkan Terang yang sesungguhnya itu.
Terang yang sesungguhnya, yaitu Yesus Kristus menjelma menjadi ma-nusia, sudah datang ke dalam dunia. Walaupun banyak orang menolak Terang itu, namun Terang yang sesungguhnya ini membawa pengha-rapan sejati bagi umat manusia. Di tengah kegelapan, Terang itu me-numbuhkan pengharapan bagi mereka yang menjadi korban ketidak-adilan. Bahkan di tengah bencana pun muncul kepedulian yang justru melampaui batas-batas suku, agama, status sosial dan kelompok apa pun. Terang itu membawa Roh yang memerdekakan kita dari pelbagai kege-lapan, sebagaimana dikatakan oleh Penginjil Lukas: "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang"3.
Natal adalah tindakan nyata Allah untuk mempersatukan kembali di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya4. Semua yang dilihat-Nya baik adanya itu5, yang telah dirusakkan dan diceraiberaikan oleh kejahatan manusia, menemukan dirinya di dalam Terang itu. Oleh karena itu, dengan menyambut dan merayakan Natal sebaik-baiknya, kita menerima kembali, „Ÿ dan demikian juga menya-tukan diri kita dengan „Ÿ karya penyelamatan Allah yang baik bagi semua orang.
Di dalam merayakan Natal sekarang ini, kita semua kembali diingatkan, bahwa Terang sejati itu sedang datang dan sungguh-sungguh ada di da-lam kehidupan kita. Terang itu, Yesus Kristus, berkarya dan membuka wawasan baru bagi kesejahteraan umat manusia serta keutuhan ciptaan. Inilah semangat yang selayaknya menjiwai kita sendiri serta suasana di mana kita sekarang sedang menjalani pergumulan hidup ini.
3. Saudara-saudari terkasih,
Peristiwa Natal membangkitkan harapan dalam hidup dan sekaligus memanggil kita untuk tetap mengupayakan kesejahteraan semua orang. Kita juga dipanggil dan diutus untuk menjadi terang yang membawa pengharapan, dan terus bersama-sama mencari serta menemukan cara-cara yang efektif dan manusiawi untuk memperjuangkan kesejahteraan ber-sama.
- Bersama Rasul Paulus, kami mengajak seluruh umat kristiani di tanah air tercinta ini: "Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan"6, karena dengan membalas kejahatan dengan kejahatan, kita sendirilah yang dikalahkannya.
- Selanjutnya kita wajib ikut-serta mewujudkan masyarakat yang sejah-tera, adil dan makmur, bahkan melalui usaha-usaha kecil tetapi konkrit seperti menjalin hubungan baik dengan sesama warga masyarakat demi kesejahteraan bersama. Kita turut menjaga dan memelihara serta melestarikan lingkungan alam ciptaan, antara lain dengan menanam pohon dan mengelola pertanian selaras alam, dengan tidak membuang sampah secara sembarangan; mempergunakan air dan listrik seperlunya, mempergunakan alat-alat rumahtangga yang ramah lingkungan.
- Dalam situasi bencana seperti sekarang ini kita melibatkan diri secara proaktif dalam pelbagai gerakan solidaritas dan kepedulian sosial bagi para korban, baik yang diprakarsai gereja, masyarakat maupun pemerintah.
- Marilah kita memantapkan penghayatan keberimanan kristiani kita, terutama secara batiniah, sambil menghindarkan praktik-praktik iba-dat keagamaan kita secara lahiriah, semu dan dangkal. Hidup beragama yang sejati bukan hanya praktik-praktik lahiriah yang ditetap-kan oleh lembaga keagamaan, melainkan berpangkal pada hubungan yang erat dan mesra dengan Allah secara pribadi.
Jakarta, 12 November 2010
Atas nama
Ketua Umum : Pdt. Dr. A.A. Yewangoe
Sekretaris Umum: Pdt. Gomar Gultom, M.Th.
KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA (KWI),
Senin, 18 Oktober 2010
Pesan Paus Minggu Misi 84 tanggal 24 Oktober 2010
untuk
HARI MINGGU MISI (EVANGELISASI)
24 Oktober 2010
MEMBANGUN PERSEKUTUAN GEREJANI
ADALAH
KUNCI MISI
Bulan Oktober dengan perayaan Hari Minggu Evangelisasi, memberi kesempatan kepada keuskupan-keuskupan, paroki-paroki, tarekat-tarekat hidup bakti, serikat-serikat gerejani dan kepada seluruh umat untuk membarui komitmen mereka terhadap pewartaan Injil dan kegiatan pastoral dengan semangat misioner yang lebih besar.
Peristiwa tahunan ini mengajak kita untuk menghayati liturgi, katekese, karya sosio-karitatif-kultural secara lebih intensif yang semuanya merupakan ajakan Tuhan Yesus agar kita berhimpun pada meja Sabda-Nya dan Ekaristi, sebab Ia menghendaki kita merasakan kehadiran-Nya, bimbingan-Nya, supaya kita semakin bersatu dengan Dia sebagai Guru dan Tuhan.
Yesus menyatakan,"Barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya." (Yoh 14:21). Hanya berpangkal pada perjumpaan dengan kasih Allah ini - yang berdaya mengubah seluruh eksistensi kita - kita bisa hidup bersatu dengan Dia dan rukun di antara kita serta memberi kesaksian yang meyakinkan "kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kita tentang pengharapan yang ada pada kita" (1Ptr 3:15). Hanya iman yang dewasa - yang berpegang pada Allah seperti anak terhadap bapanya, yang dihidupi oleh doa, oleh renungan atas sabda Allah dan dengan memperlajari tentang kebenaran-kebenaran iman - akan mampu membangun masyarakat baru berdasarkan Injil Yesus Kristus.
Juga pada bulan Oktober, banyak negara melakukan berbagai aktivitas gerejani setelah masa liburan musim panas. Gereja mengajak kita semua untuk belajar dari Bunda Maria memperhatikan rencana kasih Allah Bapa atas umat manusia, sehingga kita pun mencintai umat manusia seperti Bapa mencintai mereka. Dan ini bukan lain dari pada tujuan misi Gereja.
Allah Bapa memanggil kita menjadi anak-anak-Nya dalam diri Anak-Nya yang terkasih Yesus Kristus dan memanggil kita hidup sebagai saudara satu sama lain. Yesus dikaruniakan oleh Bapa untuk menyelamatkan umat manusia yang terpecah belah oleh pertengkaran dan dosa, dan untuk menghadirkan wajah Allah yang benar "yang begitu besar kasih-Nya akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Yoh 3:16).
Dalam injilnya, Yohanes mencatat bahwa di antara masyarakat yang naik ke Yerusalem untuk merayakan Paskah terdapat beberapa orang Yunani. Mereka pergi kepada Filipus dan minta,"Tuan, kami ingin bertemu dengan Yesus." (Yoh 12:21). Permintaan mereka bergema juga dalam hati kita di bulan Oktober ini, untuk mengingatkan bahwa tanggung jawab dan tugas perutusan mewartakan Injil, yaitu membantu manusia bertemu dengan Yesus, merupakan tugas utama perutusan seluruh Gereja. (Ad gentes, 2).
Di tengah-tengah masyarakat multi-etnik zaman ini yang mengalami kekosongan batin dan ketakpedulian terhadap sesama yang memrihatinkan, murid-murid Yesus terpanggil menampilkan tanda-tanda harapan dan menjalin suatu persaudaraan yang universal (=Katolik) dengan menerapkan nilai-nilai luhur yang membarui sejarah. Selain itu, secara nyata dan dengan berani, mereka terpanggil menjadikan bumi ini rumah semua orang.
Manusia zaman ini, seperti peziarah-peziarah Yunani 2000 tahun yang lalu, mungkin tanpa menyadarinya, meminta supaya umat beriman jangan hanya ‘berbicara' tentang Yesus, melainkan supaya ‘memperlihatkan' Yesus, wajah Sang Penyelamat, di setiap penjuru dunia kepada generasi millennium ini, terutama kepada kaum muda di masing-masing benua, sebab merekalah pendengar dan pewarta injil yang terpilih. Manusia zaman ini harus mengalami bahwa kaum Kristiani mewartakan Sabda Kristus sebab Dialah kebenaran, sebab dalam Dialah orang-orang Kristiani telah menemukan jawaban dan makna bagi hidup mereka.
Pengarahan saya ini bermaksud memfokuskan tugas perutusan yang dilimpahkan kepada seluruh Gereja dan kepada masing-masing anggotanya. Tugas perutusan Gereja akan menyentuh hati manusia hanya kalau mekar dari pertobatan pribadi, komuniter dan pastoral yang sejati.
Tugas perutusan mewartakan Injil mendesak setiap murid Yesus, semua keuskupan dan paroki untuk menjalankan suatu pembaruan diri yang mendalam dan membuka hati pada kerja sama antar Gereja-gereja lokal agar pesan Injil sampai pada hati setiap orang, setiap bangsa, budaya, suku di seantero dunia.
Kerja sama antar Gereja-gereja lokal menjadi nyata dan berkembang melalui karya Imam-imam Fidei donum, serikat-serikat misioner, para biarawan-biarawati, awam-awam misioner yang mengarah pada suatu persatuan gerejani yang semakin mantap di mana pluralitas budaya pun menemukan keharmonisan. Dalam pluralitas budaya, Injil berpeluang bekerja sebagai ragi bagi berkembangnya kebebasan dan kesejahteraan, serta sebagai sumber persaudaraan, kerendahan hati dan damai (Ad gentes 8). Dalam Kristus, Gereja menjadi sakramen, yaitu tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. (Lumen gentium, 1)
Kesatuan Gereja lahir dari perjumpaan dengan Yesus Kristus, Putra Allah. Melalui pewartaan Gereja, Kristus menjangkau semua orang dan menciptakan kesatuan dengan diri-Nya, dengan Bapa dan Roh Kudus (1Yoh 1:3). Kristus menciptakan hubungan yang baru antara manusia dengan Allah. Ia mewahyukan bahwa "Allah adalah kasih" (1Yoh 4:8) dan sekaligus Ia menetapkan ‘perintah baru cinta kasih' sebagai hukum utama bagi kesempurnaan manusiawi - dan karena itu - untuk pembaruan dunia. Dan Kristus menjamin kepada semua orang yang percaya akan kasih sayang ilahi," bahwa jalan cinta kasih terbuka bagi semua orang, dan bahwa usaha untuk membangun persaudaraan universal tidak akan percuma. (Gaudium et spes, 38).
Gereja dibentuk menjadi ‘Persekutuan' oleh Ekaristi, di mana Kristus, yang hadir dalam roti dan anggur, berkat kurban cinta kasih-Nya mendirikan Gereja sebagai tubuh-Nya, dengan menyatukan kita dengan Allah Tritunggal dan menyatukan kita satu sama lain. (1Kor 10:1dst). Sebagaimana sudah saya tulis dalam Anjuran apostolik Sacramentum Caritatis,"Kita tidak bisa menyimpan bagi diri kita saja cinta kasih yang kita rayakan dalam sakramen, karena hakekatnya cinta itu dibagikan kepada semua orang. Apa yang dibutuhkan dunia adalah cinta kasih Allah, adalah perjumpaan dengan Kristus dan percaya kepada-Nya."(n.84). Oleh karena itu Ekaristi bukan hanya sumber dan tujuan kehidupan Gereja, tetapi juga sumber dan tujuan misi Gereja, Gereja yang ekaristis sejatinya adalah Gereja yang misioner, Gereja yang mampu mewartakan secara meyakinkan bahwa, "Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamu pun beroleh persekutuan dengan kami." (1Yoh 1:3)
Saudara sekalian yang terkasih, pada hari Minggu Misi ini di mana mata hati kita terbuka untuk menjangkau luasnya tugas misi, hendaknya kita memastikan diri sebagai pelaku dalam melaksanan tugas Gereja mewartakan Injil. Semangat misioner tetap merupakan tanda vitalitas Gereja-Gereja Lokal kita (R.M, 2) dan kerjasama antar Gereja-Gereja Lokal menjadi bukti kokoh kesatuhan, persaudaraan dan solidaritas. Ciri-ciri ini merupakan jaminan bagi dunia bahwa pewartaan Kasih Yang Menyelamatkan sungguh dapat dipercaya!
Sekali lagi saya ajak saudara sekalian untuk berdoa dan - kendati dunia dilanda krisis ekonomi - membantu juga secara konkrit Gereja-Gereja muda. Bantuan tanda kasih ini akan diserahkan kepada Karya Kepausan untuk Evangelisasi (kepadanya saya haturkan terima kasih saya), yang kemudian akan diteruskan untuk membantu pembinaan para imam, seminaris-seminaris, katekis-katekis di daerah-daerah misi dan untuk mendukung komunitas-komunitas Gereja muda.
Sebagai penutup pesan tahunan ini untuk Hari Misi (Evanglisasi) sedunia, saya ingin menyatakan cinta kasih dan pengharaan saya bagi semua misionaris, laki-laki dan perempuan, yang menjadi saksi Kerajaan Allah di daerah terpencil dan sulit yang kadangkala menuntut penyerahan hidup. Bagi merekalah persaudaraan dan dukungan dari seluruh kaum beriman! Semoga Allah "yang mengasihi orang yang memberi dengan sukacita" (2Kor 9:7) menganugerahi mereka semangat dan kebahagiaan yang mendalam.
Sebagaimana Maria, demikian pula setiap komunitas gerejani yang mengakatan "ya' kepada panggilan Ilahi untuk melayani sesama dalam kasih, akan menjadi suatu komunitas dengan corak keibuan dan rasuli (Gal 4 : 4. 19.26), yang karena terpesona oleh misteri kasih Allah - "yang setelah genap waktunya, mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan" (Gal 4 : 4) - ia akan melahirkan rasul-rasul baru yang penuh semangat dan berani. Tanggapan akan kasih Allah itu akan menjadikan komunitas Kristiani "bersukacita dalam pengharapan" untuk membangun rencana Allah yang menghendaki "agar segenap umat manusia mewujudkan satu Umat Allah, bersatu-padu menjadi satu Tubuh Kristus serta dibangun menjadi satu kenisah Roh Kudus" (Ad gentes, 7).
BENEDIKTUS PP. XVI
Rabu, 05 Mei 2010
PESAN BAPA SUCI BENEDIKTUS XVI PADA HARI KOMUNIKASI SEDUNIA ke-44
Imam dan Pelayanan Pastoral di Dunia Digital: Media Baru demi Pelayanan Sabda
Saudara dan Saudariku Terkasih,
1. Tema Hari Komunikasi Sedunia tahun ini – Imam dan Pelayanan Pastoral di Dunia Digital: Media Baru demi Pelayanan Sabda- disampaikan bertepatan dengan perayaan Gereja tentang Tahun Imam. Tema ini memusatkan perhatian pada komunikasi digital, suatu bidang pastoral yang peka dan penting, yang memberikan kemungkinan baru bagi para imam dalam menunaikan pelayanan kegembalaannya demi dan untuk Sabda. Berbagai komunitas Gereja sebenarnya telah menggunakan media modern untuk mengembangkan komunikasi, melibatkan diri dalam masyarakat serta mendorong dialog pada tingkat yang lebih luas. Akan tetapi penyebarannya yang tak terbendung serta dampak sosial yang besar pada jaman kini, media itu semakin menjadi penting bagi pelayanan imam yang berhasilguna.
2. Tugas utama semua imam adalah mewartakan Yesus Kristus, Sabda Allah yang inkarnasi dan mengkomunikasi rahmat penyelamatan-Nya melalui sakramen-sakramen. Dihimpun dan dipanggil oleh Sabda, Gereja menjadi tanda dan sarana persekutuan yang Allah ciptakan dengan semua orang. Setiap imam dipanggil untuk membangun persekutuan dalam Kristus dan bersama Kristus. Disinilah terletak martabat yang luhur dan indah perutusan seorang imam, yang secara istimewa menjawabi tantangan yang ditampilkan oleh Rasul Paulus: ’Barangsiapa yang percaya kepada Dia, tidak akan dipermalukan.’…Sebab barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya jika mereka tidak percaya kepada Dia? Dan bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia jika mereka tidak mendengarkan tentang Dia? Bagaimana mereka mendengarkan tentang Dia jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya jika mereka tidak diutus? (Rom 10:11, 13-15).
3. Menggunakan tekonologi komunikasi baru merupakan hal yang perlu dilakukan dalam menjawab secara tepat tantangan-tantangan yang dirasakan kaum muda di tengah pergeseran budaya masa kini. Dunia komunikasi digital dengan kemampuan ekspresi yang nyaris tak terbatas mendorong kita untuk mengakui apa yang disampaikan oleh St.Paulus:’celakalah aku jika aku tidak mewartakan Injil (1Kor 9:16). Kemudahan mendapatkan teknologi baru yang kian berkembang menuntut tanggungjawab yang lebih besar dari orang-orang terpanggil untuk mewartakan Injil serta termotivasi, terarah dan efisien menunaikan usaha-usaha mereka. Para imam berada di ambang ‘era baru’: karena semakin intensifnya relasi lintas batas yang dibentuk oleh pengaruh media komunikasi, demikian pula para imam dipanggil untuk memberikan jawaban pastoral dengan menempatkan media secara berdaya guna demi pelayanan Sabda.
4. Penyebaran komunikasi multimedia dengan ragam ‘menu pilihan’ tidak dimaksudkan untuk sekadar menghadirkan para imam di internet atau sekadar menjadikan internet ruang untuk diisi. Para imam diharapkan menjadi saksi setia terhadap Injil di dalam dunia komunikasi digital dengan menunaikan perannya sebagai pemimpin-pemimpin komunitas yang terus menerus mengungkapkan dirinya dengan ‘suara yang berbeda’ yang dihadirkan oleh pasaraya digital. Dengan demikian, para imam ditantang untuk mewartakan Injil dengan menggunakan generasi teknologi audiovisual yang paling mutakhir (gambar, video, fitur animasi,blog dan website) berdampingan dengan media tradisional dapat membuka wawasan baru dan luas demi dialog evangelisasi dan katekese.
5. Dengan menggunakan teknologi komunikasi baru, para imam dapat memperkenalkan kehidupan menggereja kepada umat dan membantu orang-orang jaman sekarang menemukan wajah Kristus. Hal ini akan dicapai dengan baik apabila mereka belajar –sejak dari masa pembinaan mereka- bagaimana memanfaatkan teknologi komunikasi secara kompeten dan cocok dengan pemahaman teologis yang mendalam dan spiritualitas imam yang kokoh, berakar pada dialog terus menerus dengan Tuhan. Dalam dunia komunikasi digital, para imam -lebih dari sekadar sebagai ahli media- seharusnya mengungkapkan kedekatannya dengan Kristus untuk memberikan ‘jiwa’ baik bagi pelayanan pastoralnya maupun bagi aliran komunikasi internet yang tak terbendung.
6. Kasih Allah kepada semua orang dalam Kristus mesti diungkapkan dalam dunia digital bukan sekadar sebagai benda purba atau teori orang terpelajar tetapi sebagai sesuatu yang sungguh nyata, hadir dan melibatkan diri. Oleh karena itu, kehadiran pastoral kita di dalam dunia yang demikian harus bermanfaat untuk memperkenalkan orang-orang pada jaman sekarang teristimewa mereka yang mengalami ketidakpastian dan kebingungan, ‘bahwa Allah itu dekat, bahwa di dalam Kristus kita semua saling memiliki’ (Benediktus XVI, Address to the Roman Curia,21 December 2009)
7. Siapakah yang lebih baik dari seorang imam, yang sebagai abdi Allah dan melalui kemampuannya di bidang teknologi digital dapat mengembangkan dan menunaikan pelayanan pastoralnya , menghadirkan Allah secara nyata di dunia jaman sekarang dan menampakkan kebijaksanaan rohani masa lampau sebagai harta yang mengilhami usaha kita untuk hidup layak dimasa kini sambil membangun masa depan yang lebih baik? Kaum laki-laki dan perempuan religius yang bekerja di bidang media komunikasi memiliki tangggjawab istimewa untuk membuka pintu bagi berbagai pendekatan baru, mempertahankan mutu interaksi manusia, menunjukkan perhatiannya bagi individu serta kebutuhan rohaninya yang sejati. Dengan demikian, mereka dapat menolong kaum laki-laki dan perempuan pada jaman digital ini untuk merasakan kehadiran Tuhan, menumbuhkan kerinduan dan harapan serta mendekatkan diri pada Sabda Allah yang menganugrakan keselamatan dan membangun manusia secara utuh. Dengan demikian, Sabda Allah dapat berjalan melintasi berbagai persimpangan yang tercipta oleh simpangsiurnya aneka ragam ‘jalan tol’ yang membentuk ‘ruang maya’ dan menunjukkan bahwa Allah memiliki tempat-Nya yang tepat pada setiap jaman, termasuk di jaman kita ini. Berkat media komunikasi baru, Tuhan dapat menapaki jalan-jalan perkotaan kita sambil berhenti di depan ambang rumah dan hati kita dan mengatakan lagi: Lihatlah, Aku berdiri de depan pintu dan mengetuk, Jika ada yang mendengar suaraku dan membukakan pintu, Aku akan masuk ke dalam rumahnya dan makan bersama dia dan dia bersama aku” (Why.3:20)
8. Dalam Pesan tahun lalu, saya telah mendorong para pemimpin di dunia komunikasi untuk memajukan budaya menghormati demi nilai dan martabat manusia. Ini merupakan salah satu cara dimana Gereja dipanggil untuk menunaikan ‘palayanan terhadap budaya-budaya’ di ‘benua digital’ jaman sekarang. Dengan Injil di tangan dan di hati, kita mesti menegaskan lagi tentang perlunya mempersiapkan cara mengantar orang kepada Sabda Allah sambil memberikan perhatian kepada mereka untuk terus mencari bahkan kita harus mendorong pencarian mereka sebagai langkah awal evangelisasi. Kehadiran pastoral di dunia komunikasi digital justru mengantar kita untuk berkontak dengan penganut agama lain, dengan orang-orang tak beriman dan orang-orang dari berbagai budaya, menuntut kepekaan terhadap orang yang tidak percaya, putus asa dan yang memiliki kerinduan mendalam dan tak terungkapkan akan kebenaran abadi dan mutlak, Demikianlah seperti yang diramalkan oleh Nabi Yesaya tentang sebuah rumah doa bagi segala bangsa (bdk Yes 56:7), dapatkah kita tidak melihat internet sebagai ruang yang diberikan kepada kita – semacam ‘pelataran bagi orang-orang bukan Yahudi’ di Bait Allah Yerusalem- yakni mereka yang belum mengenal Allah?
9. Perkembangan dunia digital dan teknologi baru merupakan sumber daya yang besar bagi manusia secara keseluruhan dan setiap individu sebagai daya dorong untuk perjumpaan dan dialog. Akan tetapi perkembangan ini juga memberikan peluang besar bagi orang beriman. Tidak ada pintu yang dapat dan harus ditutup bagi setiap orang yang atas nama Kristus yang bangkit, memiliki komitmen untuk semakin mendekatkan diri kepada orang lain. Secara khusus bagi para imam, media baru ini memberikan kemungkinan pastoral yang baru dan kaya, mendorong mereka untuk melibatkan diri ke dalam universalitas perutusan Gereja, membangun persahabatan yang luas dan konkrit serta memberikan kesaksian di dunia jaman kini tentang hidup baru yang berasal dari mendengar Injil Yesus, Putra Abadi yang datang demi keselamatan kita. Seiring dengan itu, para imam mestinya mengingat bahwa keberhasilan utama dari pelayanan mereka datang dari Kristus sendiri, yang ditemukan dan didengar dalam doa, diwartakan dalam kotbah dan dihidupi lewat kesaksian; dan diketahui, dicinta dan dirayakan dalam sakramen-sakramen, khususnya sakramen ekaristi dan rekonsiliasi.
10. Untuk para imamku yang terkasih, sekali lagi saya mendorong anda untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan unik yang disumbangkan oleh komunikasi modern. Semoga Tuhan menjadikan kalian bentara-bentara Injil yang bersemangat di ‘ruang publik’ baru media dewasa ini.
11. Dengan penuh keyakinan, saya memohonkan perlindungan Bunda Maria dan Santo Yohanes Maria Vianey (Pastor dariArs, Pelindung para imam) dan dengan penuh kasih saya memberikan kepada anda sekalian berkat apostolikku.
Vatikan, 24 Januari 2010, Pesta Santo Fransiskus de Sales.
Paus Benediktus XVI
Rabu, 21 April 2010
DOA PANGGILAN SEDUNIA
Kesaksian Membangkitkan Panggilan
Kepada yang terkasih:
Saudara-saudaraku para Uskup dan para Imam, dan
Saudara-saudari seiman sekalian.
Hari Doa Panggilan Sedunia yang ke 47, yang akan dirayakan pada hari Minggu Paskah ke IV – sering kali disebut Hari Minggu Gembala Yang Baik – tgl. 25 April 2010, memberi saya kesempatan untuk menyampaikan sebuah permenungan dengan tema yang kiranya sangat cocok untuk Tahun Imam pada tahun ini, yaitu: Kesaksian Membangkitkan Panggilan. Buah usaha keras kita untuk mempromosikan panggilan pertama-tama bergantung pada tindakan bebas Allah semata. Namun demikian pengalaman pastoral menunjukkan bahwa promosi panggilan ini dapat dibantu melalui kualitas dan kedalaman kesaksian baik personal maupun komunal dari mereka yang telah menjawabi panggilan Tuhan baik dalam pelayanan imamat maupun hidup bakti, karena kesaksian hidup mereka mampu membangkitkan dalam diri orang lain suatu keinginan untuk menanggapi panggilan Kristus dengan tulus hati. Dengan demikian tema ini bertalian erat dengan kehidupan dan tugas perutusan para imam dan kaum religius. Oleh karena itu saya ingin mengajak semua orang yang telah dipanggil oleh Tuhan untuk bekerja di kebun anggur-Nya, untuk membaharui kesetiaan jawaban mereka, khususnya pada Tahun Imam ini sebagaimana yang sudah saya promulgasikan pada Peringatan 150 Tahun Wafatnya St. Yohanes Maria Vianney, seorang Pastor (Curẻ) dari Ars, sebagai model yang tak lekang waktu bagi seorang imam dan gembala.
Dalam Perjanjian Lama para nabi sadar bahwa mereka dipanggil untuk memberi kesaksian melalui kehidupan mereka sendiri pesan yang harus mereka wartakan. Dan mereka dipersiapkan untuk menghadapi kesalah-pahaman, penolakan dan pengejaran terhadap mereka. Tugas yang Allah percayakan kepada mereka sangat menuntut komitmen mereka bagaikan “api yang menyala-nyala” dalam hati mereka, suatu api yang tak dapat dipadamkan (bdk. Yer 20:9). Hasilnya, mereka sebenarnya dipersiapkan untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, bukan hanya kata-kata tetapi juga seluruh diri mereka. Hingga pada kepenuhan waktu, Tuhan Yesus diutus oleh Bapa-Nya (bdk.Yoh 5:36) untuk memberi kesaksian tentang kasih Allah bagi seluruh bangsa manusia, tanpa membeda-bedakan, khususnya perhatian terhadap mereka yang paling kecil, kaum pendosa, kaum tersingkirkan dan kaum miskin. Yesus adalah Saksi yang Paling Agung bagi Allah dan bagi tugas keselamatan bagi semua orang. Dan menjelang akhir masa yang baru itu, Yohanes Pembaptis, dengan membaktikan seluruh hidupnya untuk mempersiapkan jalan bagi Kristus, memberi kesaksian bahwa janji-janji Allah sesungguhnya telah terpenuhi dalam diri Putra Maria dari Nasaret. Ketika Yohanes melihat Yesus datang ke sungai Yordan dimana ia sedang membaptis, ia menunjukkan Yesus kepada para muridnya sebagai “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yoh 1:29). Kesaksiannya begitu efektif sehingga membuat dua muridnya “mendengarkan dia, dan mengikuti Yesus” (Yoh 1:37).
Demikian juga panggilan St. Petrus, sebagaimana kita baca dalam Injil Yohanes. Panggilannya terjadi berkat kesaksian saudaranya Andreas, yang telah bertemu sendiri dengan Sang Guru dan menerima ajakan-Nya untuk tinggal bersama Dia. Andreas merasa bahwa ada suatu kebutuhan untuk segera disampaikan kepada Petrus apa yang baru saja dia temukan dengan “tinggal” bersama dengan Tuhan: “Kami telah menemukan Mesias (yang berarti Kristus). Kemudian ia membawa Petrus kepada Yesus” (Yoh 1:41-42). Hal yang sama terjadi pada diri Natanael atau Bartolomeus. Syukurlah berkat kesaksian murid yang lain, Filipus, dengan penuh sukacita menceritakan kepada Petrus tentang penemuan yang besar itu: “Kami telah menemukan Dia yang disebut oleh Musa dalam Kitab Taurat dan oleh para Nabi, yaitu Yesus dari Nasaret anak Yusuf” (Yoh 1:45). Inisiatif Allah yang bebas dan simpatik tersebut menuntut tanggung-jawab semua orang yang telah menerima undangan-Nya untuk menjadi sarana panggilan ilahi-Nya, melalui kesaksian mereka sendiri. Hal ini juga terjadi dalam Gereja saat ini: Tuhan menggunakan kesaksian para imam yang tetap setia terhadap tugas perutusan mereka agar dapat membangkitkan panggilan imam dan religius yang baru demi pelayanan umat Allah. Karena alasan inilah, saya ingin menunjukkan tiga aspek kehidupan dari seorang imam yang saya pandang sangat hakiki untuk kesaksian imamat yang efektif.
Aspek pertama dan yang paling mendasar, dan ini dapat dilihat dalam setiap panggilan imamat dan hidup bakti, yaitu persahabatan dengan Yesus. Yesus selalu tinggal dalam persekutuan dengan Bapa dan inilah yang membuat para murid semakin penasaran untuk memiliki pengalaman yang sama. Dari Dia-lah para murid belajar untuk tinggal dalam persekutuan dan komunikasi timbal-balik (dialogue) yang tak pernah putus dengan Allah. Jika seorang imam itu adalah “manusia Allah” (man of God), yaitu seseorang yang menjadi milik Allah dan membantu sesamanya untuk mengenal dan mengasihi Dia; maka ia tidak akan merasa sia-sia untuk menghayati kemesraan yang mendalam dengan Allah, tinggal dalam kasihNya dan siap sedia mendengarkan firmanNya. Doa adalah bentuk pertama kesaksian yang dapat membangkitkan panggilan. Sama seperti Rasul Andreas, yang menyampaikan kepada saudaranya bahwa dia telah melihat Sang Guru, demikian pula setiap orang yang ingin menjadi seorang murid dan saksi Kristus harus “telah melihat” Dia secara pribadi, yaitu mengenal Dia, belajar mengasihi Dia dan tinggal bersama Dia.
Aspek kedua yang termasuk dalam pengudusan hidup imamat dan hidup bakti adalah penyerahan diri seutuhnya kepada Allah. Rasul Yohanes menulis: “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawaNya untuk kita; jadi kita-pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita” (1 Yoh 3:16). Dengan firman ini, Rasul Yohanes mengajak para murid untuk masuk ke dalam pikiran Yesus yang dalam seluruh hidupNya hanya melakukan kehendak Bapa hingga sampai menyerahkan hidupNya di atas Salib. Di sinilah kasih Allah dinyatakan secara penuh; yaitu kasih yang telah mengalahkan kegelapan setan, dosa dan kematian. Kisah Yesus pada Perjamuan Terakhir: Dia bangkit dari meja perjamuan, menanggalkan jubahNya, mengambil kain (lenan) dan mengikatkannya pada pinggangNya, dan Ia membungkuk untuk membasuh kaki para muridNya. Kisah ini mau mengungkapkan makna pelayanan dan pemberian Diri seutuhnya, demi ketaatanNya kepada kehendak Bapa (bdk. Yoh 13:3-15).
Dalam mengikuti Yesus, setiap orang dipanggil kepada suatu pengudusan hidup secara sangat khusus untuk memberi kesaksian bahwa ia telah menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah. Inilah yang pada gilirannya menjadi sumber kekuatannya untuk memberi diri kepada mereka yang telah dipercayakan oleh Sang Penyelenggara Illahi dalam pelayanan pastoral secara penuh. Ini adalah suatu pengabdian yang terus menerus dan dengan gembira menjadi rekan dalam perjalanan bagi banyak saudara. Demikian juga dengan penyerahan diri memampukan mereka membuka diri terhadap perjumpaan dengan Kristus, supaya FirmanNya menjadi suluh bagi langkah mereka. Kisah tentang setiap panggilan hampir selalu kait-mengait dengan kesaksian seorang imam yang dengan senang hati menghidupi anugerah yang ada pada dirinya kepada saudara-saudarinya demi Kerajaan Allah. Terjadi demikian karena kehadiran dan kata-kata seorang imam mempunyai kekuatan untuk membangkitkan pertanyaan-pertanyaan dan bahkan mampu menghantar kepada suatu keputusan final (bdk. Yohanes Paulus II, Himbauan Apostolik, Pastores Dabo Vobis, 39).
Aspek ketiga yang memberikan ciri khas pribadi seorang imam dan religius adalah hidup dalam persekutuan. Yesus menunjukkan bahwa tanda bagi seseorang yang ingin menjadi seorang murid adalah persekutuan yang mendalam dalam kasih: “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridKu, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh 13:35). Dengan cara hidupnya yang khusus, seorang imam harus menjadi sosok pribadi persekutuan (man of communion): terbuka bagi semua orang, mampu menyatukan semua orang yang telah Tuhan percayakan kepadanya menjadi satu kawanan peziarah, membantu mengatasi aneka perpecahan, mampu memulihkan keretakan, mampu menangani konflik dan kesalah-pahaman, mampu mengampuni kesalahan-kesalahan. Pada bulan Juli 2005, ketika saya berbicara kepada kaum klerus di Aosta, saya menegaskan bahwa jika kaum muda melihat para imam mereka menjauh dan nampak murung, mereka tidak mungkin dapat mengikuti teladannya. Mereka akan tetap ragu-ragu jika mereka diajak untuk merenungkan tentang kehidupan seorang imam seperti itu. Sebaliknya, mereka ingin melihat contoh konkrit persekutuan hidup yang mengungkapkan keindahan menjadi seorang imam. Hanya dengan cara demikian kaum muda akan mengatakan, “Ya, yang ini mungkin menjadi masa depan saya; saya rasa mampu menghayati hidup seperti ini” (Insegnamenti I, [2005], 354). Konsili Vatikan II, yang berbicara tentang kesaksian yang membangkitkan panggilan, menekankan contoh kasih dan kerjasama fraternal yang harus ditawarkan oleh seorang imam (bdk. Dekrit Optatam Totius, 2).
Di sini saya ingin mengingatkan kembali kata-kata pendahulu saya, Venerabilis Yohanes Paulus II: “Kehidupan yang paling hakiki dari para imam, pengabdian mereka kepada kawanan Allah tanpa syarat, kesaksian pelayanan kasih kepada Tuhan dan kepada Gereja-Nya – suatu kesaksian yang ditandai oleh penerimaan secara bebas akan Salib dalam semangat pengharapan dan kegembiraan Paskah – kesatuan dan semangat persaudaraan demi pewartaan Injil kepada dunia adalah faktor utama dan paling meyakinkan untuk pertumbuhan panggilan” (Pastores Dabo Vobis, 41). Dapat dikatakan bahwa panggilan imam lahir karena kontak dengan para imam, bagaikan suatu harta peninggalan yang berharga diwariskan melalui kata, teladan dan seluruh gaya hidupnya.
Hal serupa dapat berlaku untuk hidup bakti. Hakikat hidup kaum religius pria dan wanita adalah mewartakan kasih Kristus kapan saja ketika mereka mengikuti Kristus dengan ketaatan penuh terhadap Injil dan dengan senang hati mendasarkan pertimbangan dan perbuatan mereka menurut ketentuan Injil. Mereka menjadi “simbol pertentangan” dunia, karena pola pikir dunia kerap kali dipengaruhi oleh materialisme, egoisme dan individualisme. Dengan membiarkan diri dipenuhi oleh Allah melalui penyangkalan diri, maka kesetiaan dan kekuatan kesaksian mereka secara terus-menerus akan membangkitkan dalam hati banyak orang muda keinginan untuk mengikuti Kristus dengan tulus dan sepenuh hati. Mengikuti Kristus yang murni, miskin dan taat, dan menyerupai Dia adalah cita-cita hidup bakti, yaitu suatu kesaksian tentang supremasi Allah yang tak terbatas dalam hidup dan sejarah manusia.
Setiap imam, setiap religius, yang setia terhadap panggilannya, memancarkan kegembiraan dalam melayani Kristus dan akan menarik semua orang Kristen untuk menanggapi panggilan universal kepada kekudusan. Konsekwensinya, agar dapat mendukung panggilan untuk pelayanan imam dan hidup bakti, dan agar lebih efektif dalam mempromosikan kejelian panggilan, maka tak mungkin kita mampu melakukan itu semua tanpa contoh nyata atau teladan dari mereka yang telah mengatakan “ya” kepada Allah dan rencana-Nya bagi kehidupan masing-masing individu. Kesaksian pribadi, dalam aneka bentuk pilihan hidup yang konkrit, akan mendukung kaum muda untuk mengambil keputusan penting demi menentukan masa depan mereka. Kaum muda yang ingin memilih jalan ini perlu memiliki ketrampilan untuk bergumul dan berdialog agar dengan ketrampilan-ketrampilan tersebut mereka mampu menerangi dan mendampingi, terlebih lagi teladan kehidupan nyata dalam menghayati suatu panggilan. Inilah yang dilakukan oleh Pastor (Curẻ) kudus dari Ars: dia selalu mengadakan kontak yang akrab dengan umat parokinya, mendidik mereka “pertama-tama melalui kesaksian hidupnya. Hanya dari teladan hidupnya, kaum beriman belajar berdoa” (Surat Promulgasi Tahun Imam, 16 Juni 2009).
Semoga Hari Doa Sedunia Untuk Panggilan ini sekali lagi mampu menawarkan bagi banyak kaum muda kesempatan untuk merenungkan panggilan mereka dan tetap setia pada panggilannya dalam kesederhanaan, keyakinan iman dan keterbukaan diri secara penuh. Semoga Perawan Maria, Bunda Gereja, memperhatikan setiap benih panggilan di dalam lubuk hati orang-orang yang dipanggil Tuhan untuk mengikuti Dia secara lebih dekat, semoga dia membantu benih panggilan ini tumbuh menjadi pohon yang besar, menghasilkan buah-buah kebaikan secara berlimpah bagi Gereja dan bagi seluruh bangsa manusia. Melalui doa ini saya sertakan Berkat Apostolikku bagi kamu semua.
Paus Benediktus XVI