Tampilkan postingan dengan label dokumen gereja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dokumen gereja. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 November 2012

PESAN NATAL 2012


PESAN NATAL BERSAMA
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)
KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA (KWI)
TAHUN 2012

ALLAH TELAH MENGASIHI KITA
(bdk. 1 Yoh 4:19)

Saudara-saudari terkasih,
Setiap merayakan Natal, pandangan kita selalu terarah kepada bayi yang lahir dalam kesederhanaan, namun menyimpan misteri kasih yang tak terhingga. Allah menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Inilah perayaan penuh sukacita atas kedatangan Tuhan. Dialah Sang Juruselamat yang menjadi manusia lemah dan miskin, agar kita yang miskin ini dapat ambil bagian dalam kekayaan keallahan-Nya. Maka pada perayaan kelahiran Yesus Kristus ini, baiklah kita merenungkan kasih Allah itu dan menegaskan apa yang harus kita lakukan untuk hidup sebagai orang-orang yang percaya kepada-Nya.
Kasih Allah Bagi Semua Manusia
Allah mengasihi semua manusia. Kasih-Nya yang besar kepada manusia itu diwujudkan dengan mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dunia. Anak itu dikandung oleh seorang perawan, bernama Maria. Kelahiran-Nya membawa sukacita bagi banyak orang. Warta gembira itu diserukan oleh malaikat Allah: “sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk 2:10-11). Tanda sukacita itu nyata dalam diri seorang bayi yang dibungkus dengan lampin dan dibaringkan dalam palungan sebagai wujud kesederhanaan dan kesahajaan.
Kasih Allah itu disambut dengan gembira oleh para gembala yang bergegas pergi ke Betlehem untuk menjumpai bayi itu seperti diwartakan oleh malaikat Allah. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang-orang majus dari Timur. Mereka mencari kanak-kanak Yesus dengan mengikuti bimbingan bintang. Setelah menemukan tempat yang dicarinya, “masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujudmenyembah Dia” (Mat 2:11a).

Begitulah bayi kudus itu semakin menjadi besar dalam didikan kasih kedua orangtua-Nya. Dia “makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Luk 2:52).
Kasih Allah Tanpa Syarat
Allah adalah kasih (bdk. 1 Yoh 4:8.16b). Seluruh aktivitas Allah adalah tindakan kasih. Ia menyatakan diri dalam kasih kepada manusia. Ia mengasihi manusia tanpa membedakan. Ia tidak menuntut syarat apa pun dari manusia sebelum menyatakan kasih-Nya. Ia mengasihi orang benar maupun orang jahat dan semuanya tidak pernah lepas dari kasih-Nya. Demikianlah, Allah Bapa di surga, “menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat 5:45).
Semua orang telah berdosa dan dosa membuat manusia terpisah dari Allah. Akibatnya, manusia kehilangan kemuliaannya sebagai anak Allah (Rm 3:23) dan tidak layak untuk tinggal bersama Allah. Hukuman yang harus diterima oleh orang berdosa adalah terpisah dari Allah, “sebab upah dosa adalah maut” (Rm 6:23).
Tetapi, Yesus rela menanggung penderitaan agar kita dibebaskan dari maut tersebut dan kita dianggap benar oleh Allah. Yesus pun rela menanggung semua itu karena Ia mengasihi manusia dan melihat semua manusia sebagai sahabat. Yesus menunjukkan kasih-Nya dengan memberikan nyawa-Nya sendiri untuk para sahabat-Nya. Sabda-Nya, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabatsahabatnya” (Yoh 15:13). Demikianlah Allah “telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” dan Ia telah “mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh 3:16-17).
Jelas bahwa “bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita” (1Yoh 4:10). Allah tidak menunggu manusia mengasihi diri- Nya dan baru kemudian Ia mau mengasihi mereka. Ia mengasihi manusia walaupun manusia berdosa dan Kristus sendiri mati ketika manusia masih berdosa (Rm 5:8). Yesus datang ke dalam dunia dan hidup di tengah manusia bukan karena manusia itu baik. Sebaliknya, Ia rela meninggalkan kemuliaan surgawi dan mengurbankan diri-Nya justru karena manusia berdosa dan tidak sanggup melepaskan diri dari ikatan dosa. Semua ini dilakukan-Nya semata-mata karena Ia menghendaki kebaikan dan kebahagiaan manusia. Allah menghendaki manusia hidup bahagia dalam kemuliaan abadi bersama Dia.
Mengasihi seperti Allah
Kehadiran Kristus sebagai manusia di dalam dunia ini mengajak kita untuk mengasihi seperti Allah. Sabda menjadi manusia untuk menjadi teladan kita dalam mengasihi. Seperti Allah yang menyatakan kasih-Nya dalam diri Kristus, kita diingatkan untuk mengasihi sesama semata-mata karena kita menginginkan orang lain bahagia. Hal ini juga berarti bahwa kita diajak untuk mengasihi sesama tanpa membuat pembedaan, walaupun mereka tidak berlaku seperti yang kita harapkan. Jika demikian, kita berlaku seperti Allah dan menjadi anak-anak Allah.
Hanya orang yang membuka hati dan menyadari kasih Allah akan dapat mengasihi Allah dan sesama. Jika orang mengatakan bahwa ia mengasihi Allah tetapi membenci saudaranya, ia berdusta karena tidak mungkin mencintai Allah yang tidak kelihatan tanpa mencintai sesama yang kelihatan. Siapa yang mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya (bdk. 1Yoh 4:20-21). Dasar untuk saling mengasihi ini adalah kasih Allah. Dengan kasih seperti itulah orang diajak untuk mengasihi sesamanya.
Dalam terang kasih itu, kami mengajak Saudara-saudari untuk menanggapi kasih Allah dengan bertobat dan sungguh-sungguh mewujudkan kasih dengan memperhatikan beberapa hal penting berikut ini:
Pertama, Allah menciptakan alam semesta ini baik adanya dan menyerahkan pemeliharaan serta pemanfaatannya secara bertanggungjawab kepada manusia. Perilaku tidak bertanggungjawab terhadap alam ciptaan akan menyengsarakan bukan hanya kita yang hidup saat ini, tetapi terlebih generasi yang akan datang. Maka kita dipanggil untuk melestarikan dan menjaga keutuhan ciptaan-Nya dari perilaku sewenang-wenang dalam mengelola alam.
Kedua, melibatkan diri dalam berbagai usaha baik yang dilakukan untuk mengatasi persoalan-persoalan kemasyarakatan seperti konflik kemanusiaan, menguatnya sikap intoleran, dan perilaku serta tindakan yangmenjauhkan semangat persaudaraan sebagai sesama warga bangsa.
Ketiga, melalui jabatan, pekerjaan dan tempat kita masing-masing dalam masyarakat, kita ikut sepenuhnya dalam semua usaha yang bertujuan memerangi kemiskinan jasmani maupun rohani. Demikian juga kita melibatkan diri dalam berbagai upaya untuk memberantas korupsi. Salah satu caranya adalah mengembangkan semangat hidup sederhana dan berlaku jujur.
Keempat, melibatkan diri dalam menjawab keprihatinan bersama terkait dengan lemahnya penegakan hukum. Hal itu bisa kita mulai dari diri kita sendiri dengan menjadi warga negara yang taat kepada hukum dan yang menghormati setiap proses hukum seraya terus mendorong ditegakkannya hukum demi keadilan dan kebaikan seluruh warga bangsa.
Saudara-saudari terkasih,
Allah yang menyatakan kebesaran kasih-Nya melalui Yesus Kristus yang dilahirkan di kandang Betlehem akan menyertai serta memberkati usaha kita semua dalam memberi wujud pada kasih-Nya itu. Semoga kasih Allah yang kita alami dan kita rayakan pada Natal ini mendorong kita untuk semakin giat berbuat kasih.
Berkat Tuhan melimpah kepada kita.


SELAMAT NATAL 2012 DAN TAHUN BARU 2013
Jakarta, 20 November 2012

Atas nama



PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA
DI INDONESIA (PGI)



Pdt. Dr. A.A. Yewangoe
Ketua Umum



Pdt. Gomar Gultom, M. Th.
Sekretaris Umum

KONFERENSI WALIGEREJA
INDONESIA (KWI)



Mgr. I. Suharyo
Ketua



Mgr. J.M. Pujasumarta
Sekretaris Jendral



Rabu, 15 Februari 2012

SURAT GEMBALA PRAPASKA 2012 KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG


KATOLIK SEJATI HARUS PEDULI DAN BERBAGI
"LAKUKANLAH PEKERJAAN BAIK MESKI KECIL DAN SEDERHANA SEKALIPUN"“

Para Ibu, Bapak, Suster, Rama, Bruder, orang muda, remaja, anak-anak dan saudari-saudaraku yang terkasih dalam Tuhan,


1. Hari Rabu yang akan datang, tanggal 22 Februari 2012, kita akan memulai masa tobat atau masa prapaska. Bagi kita masa prapaska merupakan masa khusus dan istimewa, karena disebut juga sebagai retret agung umat. Masa itu menjadi masa yang sangat baik untuk meneliti hidup kita, apakah hidup kita selaras dengan kehendak Tuhan. Masa prapaska juga menjadi kesempatan yang sangat istimewa untuk bersyukur kepada Tuhan, karena kita orang yang lemah dan berulang kali jatuh dalam dosa senantiasa dikasihi oleh Tuhan yang mahakasih. Cinta kasih Tuhan yang begitu dalam tersebut dikisahkan amat indah oleh nabi Yesaya yang diwartakan hari ini, ”Aku, Akulah Dia yang menghapus dosa pemberontakanmu oleh karena Aku sendiri, dan Aku tidak mengingat-ingat dosamu.” (Yes 43:25). Sabda Tuhan ini mengingatkan kita, agar mau membangun pertobatan yang sejati. Tuhan tidak pernah menghukum, namun Tuhan selalu memberi kesempatan kepada kita untuk bertobat.

Membangun pertobatan sejati berarti berani memulai hidup baru, dengan meninggalkan cara hidup lama. Untuk memulai hidup baru, melalui nabi Yesaya Tuhan mengingatkan kita, ”Janganlah ingat-ingat hal-hal yang dahulu dan janganlah perhatikan hal-hal yang dari zaman purbakala” (Yes 43:18). Dalam bacaan Injil hari ini wujud hidup baru tersebut tampak jelas dalam peristiwa penyembuhan orang yang tadinya lumpuh, dapat berjalan (bdk. Mrk. 2:1-12). Hal itu terjadi karena kehendak dan cinta kasih Yesus sendiri kepada orang lumpuh yang berharap akan belas kasih Tuhan. Maka, kita semua diajak untuk membuka diri terhadap bimbingan Tuhan, agar bisa hidup secara baru meninggalkan dosa-dosa kita.



Saudari-saudaraku yang terkasih

2. Ada dua hal penting untuk dihayati selama masa prapaska sebagaimana ditegaskan oleh Konsili Vatikan II, “dua ciri khas masa ‘empat puluh hari’, yakni terutama mengenangkan dan menyiapkan baptis dan membina pertobatan” (Sacrosanctum Concilium 109). Jika dua hal itu dihayati dalam hidup, saya yakin masa prapaska akan menghasilkan buah yang sangat berguna bagi kehidupan kita bersama di tengah-tengah Gereja dan masyarakat.

3. Dengan diterangi sabda Tuhan hari ini dengan mantab kita menghayati hidup kerohanian kita selama masa prapaska. Salah satu buah yang dapat kita petik dari pertobatan kita adalah semangat gotong-royong, tulus menolong dan tumbuh suburnya kepedulian terhadap sesama. Semangat, ketulusan dan solidaritas seperti itu-lah yang diceritakan di dalam Injil hari ini. Ketika melihat orang lumpuh yang akan berjumpa dengan Yesus, orang-orang di sekitarnya dengan rela hati mem-berikan pertolongan. Yang sangat mengharukan dari kutipan tersebut diceritakan dengan amat indah, ”Tetapi mereka tidak dapat membawanya kepadaNya karena orang banyak itu, lalu mereka membuka atap di atasNya; sesudah terbuka mereka menurunkan tilam, tempat orang lumpuh itu” (Mrk 2:4). Meski ada kendala, mereka tidak menyerah. Hanyalah satu hal keinginan mereka, orang lumpuh itu sampai di depan Yesus, sembuh dan bisa berjalan.

4. Melihat orang yang lumpuh, mereka bergegas memberikan pertolongan; tidak ada yang menyuruh atau meminta tetapi keluar dari ketulusan hati. Mereka bertindak karena didorong oleh iman. Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Yesus kepada orang lumpuh itu, ”Hai anakKu, dosamu sudah diampuni” (Mrk 2:5). Orang-orang memberikan pertolongan karena kepedulian, ketulusan dan solidaritas kemanusiaan kepada sesama. Hal ini menjadi daya dorong bagi kita semua untuk melakukan sesuatu, jika ada orang di sekitar kita yang membutuhkan pertolongan.

Kisah seperti dalam Injil tadi ternyata masih dapat dijumpai saat ini. Beberapa waktu yang lalu saya mendapat sharing dari seorang dokter: “Suatu hari rumah sakit kami menerima seorang pasien, “Bu Fatimah”; diantar oleh seorang pemuda. Keadaannya sangat buruk: badan kurus, berbau, luka gangren, wajah pucat dan tampak depresif. Pemuda itu berkata kepada perawat: ‘Ini bukan Ibu saya tetapi saya menemukannya dari alun-alun kota. Saya membawanya ke sini karena rumah sakit ini pasti mau menolong Ibu ini’. Setelah dirawat beberapa hari Ibu itu mengembuskan nafasnya dengan tenang. Karena tidak ada identitas apa pun, pemakaman Bu Fatimah diurus oleh pihak rumah sakit. Pada saat pemakaman pemuda itu datang bersama pacarnya dan ternyata ia telah memberikan beberapa rupiah kepada Ibu itu untuk biaya perawatan. Bebe¬rapa hari kemudian, waktu ia bermobil lewat di pinggir alun-alun kota, ia jumpai lagi "Bu Fatimah" yang lain tergeletak di sana. Dengan rasa kasih, pemuda itu memasukkan Ibu itu ke dalam mobilnya, dan dibawa ke rumah sakit yang berjarak 40 km dari alun-alun kota tempat tinggalnya”.

Sebagai murid-murid Yesus Kristus kita masih bisa menghadirkan karya baik di sekitar kita seperti pemuda tadi. Meski tidak persis sama seperti pemuda itu, namun saya yakin karya baik yang kita lakukan meski kecil dan sederhana sekalipun akan sangat berguna bagi sesama. Seperti yang diceritakan di dalam Injil hari ini, karena ada kepedulian dan perhatian kepada sesama, maka meski ada kendala, tetap ada juga usaha berbuat kebaikan bagi orang lain. Berkat kebaikan itu orang lumpuh bertemu dengan Yesus dan dapat berjalan. Sikap, semangat peduli, dan ketulusan hati inilah yang harus kita jaga kelestariannya, agar hidup kita menjadi berkat bagi sesama. Empat orang yang mengusung orang lumpuh tadi tidak hanya memikirkan kebutuhan mereka sendiri, namun memikirkan kebutuhan orang lain lebih-lebih orang yang tidak bisa berbuat apa-apa. Demikian juga pemuda tadi: ia tidak jijik dengan keadaan Bu Fatimah. Ia telah membuat Bu Fatimah ‘bertemu dengan Sang Penciptanya’ secara tenang dan bermartabat.

Saudari-saudaraku yang terkasih,

5. Apa yang dilakukan empat orang terhadap si lumpuh dan pemuda terhadap Bu Fatimah mengingatkan kita, bahwa tolong-menolong, saling peduli menjadi keutamaan hidup yang harus tetap dipupuk dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat. Kita tidak bisa tinggal diam, jika masih melihat keadaan yang memprihatinkan. Kita harus berani berbuat sesuatu demi kebaikan. Meskipun yang kita perbuat itu hal yang sangat kecil dan sederhana, namun pasti sangat berguna. Apa yang kita perbuat itu bisa jadi tidak kelihatan atau tidak membuat kita menjadi populer dan terkenal, bahkan oleh orang-orang tertentu dianggap cari perhatian. Berbuat baik tidak untuk mencari pujian atau mencari popularitas diri. Kita berbuat baik karena didorong iman kita, dan sebagai bentuk kesaksian sebagai murid-murid Yesus Kristus. Sebagai murid-murid Yesus Kristus kita melakukan perbuatan baik, terutama bagi mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel.

6. Dilandasi oleh iman dan sabda Tuhan hari ini, saya mengajak para Ibu/Bapak/Suster, Bruder/Rama/orang muda/ remaja dan anak-anak untuk memasuki masa prapaska dan merenungkan tema Aksi Puasa Pembangunan (APP) tahun 2012, yaitu Katolik Sejati Harus Peduli dan Berbagi. Saya mengajak Anda semua untuk terus mengupayakan hidup kekatolikan kita. Tanpa ragu-ragu memberikan kesaksian hidup sebagai murid-murid Yesus Kristus di tengah-tengah masyarakat. Berbuat kebaikan bagi siapa saja tanpa memandang pangkat dan kedudukan. Berani meninggalkan sikap serakah dan mengutamakan sikap bersyukur. Karena bagi kita lebih baik menderita karena berbuat baik daripada menderita karena berbuat jahat. Sikap dan keutamaan hidup seperti inilah yang selalu kita wujudkan setiap tahun dalam gerakan APP.

APP yang sudah berjalan selama empat puluh tahun ini menjadi contoh konkret, bahwa kita selalu peduli kepada sesama. Maka ketika kita memasuki masa prapaska dan mengadakan APP bukan diri kita sendiri yang pertama-tama dipikirkan, namun orang lain yang lebih membutuhkan. Puasa dan pantang kita telah berbuah bagi sesama. Apa yang kita lakukan selama ini dalam rangka prapaska sebenarnya menjadi penegasan apa yang disampaikan oleh para pemimpin Gereja. Di dalam dokumen Konsili Vatikan II ditegaskan, ”Pertobatan selama empat puluh hari itu hendaknya jangan hanya bersifat batin dan perorangan, melainkan hendaknya bersifat lahir dan sosial kemasyarakatan” (Sacrosanctum Concilium 110)

7. Akhirnya, para Ibu, Bapak, Suster, Rama, Bruder, orang muda, remaja dan anak-anak yang terkasih, dilandasi iman yang teguh marilah dengan gembira hati dan mantab kita mulai masa tobat, masa prapaska ini. Semoga apa yang kita renungkan bersama di lingkungan-lingkungan dan komunitas-komunitas maupun di dalam kelompok kategorial semakin meneguhkan jatidiri kita sebagai orang Katolik sejati, yaitu peduli dan rela berbagi. Dengan begitu permenungan yang kita jalani dengan setia bisa menghasilkan buah melimpah-limpah bagi banyak orang yang susah dalam hidupnya. Berkat Tuhan senantiasa melimpah bagi Anda semua, keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas dan paguyuban Anda. Tuhan meneguhkan karya baik Anda semua, meski sederhana dan kecil sekalipun.


Perkenankan saya menutup surat ini dengan berpantun,

Lungguh dingklik nang ngisor wit waru
Sinambi ngisis ngicipi roti
Dadi wong Katolik aja mangu-mangu
Kudu peduli lan rila andum rejeki



Semarang, 1 Februari 2012


Salam, doa dan Berkah Dalem,


† Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang

PESAN BAPA SUCI BENEDIKTUS XVI UNTUK MASA PRAPASKAH 2012


“Dan  marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik“ (Ibr 10:24).

Saudara dan saudari yang terkasih,
Masa Prapaskah sekali lagi memberikan kepada kita sebuah kesempatan untuk merenungkan inti terdalam dari kehidupan seorang Kristen, yaitu: perbuatan amal kasih. Ini adalah waktu yang tepat untuk memperbaharui perjalanan iman kita, baik sebagai seorang individu maupun sebagai bagian dari komunitas, dengan bimbingan Sabda Tuhan dan sakramen-sakramen Gereja. Perjalanan ini adalah perjalanan yang ditandai dengan doa dan berbagi, hening dan berpuasa, sebagai antisipasi menyambut sukacita Paskah.
Tahun ini saya ingin mengajukan beberapa pemikiran dalam terang ayat-ayat Kitab Suci yang diambil dari Surat kepada umat Ibrani: “Dan marilah kita kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik”. Kata-kata ini adalah bagian dari perikop di mana sang penulis surat yang kudus menghimbau kita untuk menaruh kepercayaan di dalam Yesus Kristus sebagai Imam Agung yang telah memenangkan pengampunan Allah bagi kita dan membuka jalan kepada Tuhan. Mengimani Kristus membuat kita mampu menghasilkan buah di dalam hidup yang ditopang oleh tiga kebaijkan teologis: hal itu berarti menghampiri Tuhan “dengan hati tulus dan penuh iman (ay.22), tetap “teguh dalam harapan yang kita nyatakan” (ay.23) dan senantiasa berusaha untuk menjalani hidup yang dibangun di atas “cinta kasih dan pekerjaan-pekerjaan baik” (ay.24), bersama dengan saudara dan saudari kita. Sang penulis surat tersebut menyatakan bahwa untuk mempertahankan hidup yang dibentuk oleh Injil, adalah penting untuk berpartisipasi secara aktif dalam liturgi dan doa bersama komunitas, dengan mengingat akan tujuan eskatologis untuk bersatu secara penuh dengan Tuhan (ay.25). Di sini saya ingin membuat refleksi atas ayat 24, yang memberikan pengajaran yang ringkas, bernilai, dan tepat di segala zaman, atas tiga aspek hidup Kristiani, yaitu: kepedulian kepada sesama, kasih timbal balik, dan kekudusan pribadi.
1. “Dan  marilah kita saling memperhatikan..” : tanggung jawab terhadap para saudara dan saudari kita.
Aspek pertama adalah sebuah undangan untuk “peduli” : kata kerja bahasa Yunani yang dipakai di sini adalah kata noein, yang artinya adalah untuk memeriksa (menyelidiki), untuk menaruh perhatian, untuk mengamati dengan seksama dan percaya akan sesuatu. Kita menjumpai kata ini di dalam Injil ketika Yesus mengundang para murid untuk “memperhatikan” burung-burung gagak, yang tanpa bekerja keras, berada di tengah perhatian dan pemeliharaan Penyelenggaraan Ilahi (bdk. Luk 12:24) dan untuk “memeriksa” balok di dalam mata kita sendiri sebelum mengeluarkan selumbar dari mata saudara kita (bdk. Luk 6:41). Di dalam ayat yang lain dari Surat kepada orang-orang Ibrani, kita menemukan ajakan untuk “mengarahkan pikiranmu kepada Yesus” (3:1), Rasul dan Imam Besar dari iman kita. Maka kata kerja yang mengantar pengajaran kita mengatakan kepada kita untuk memperhatikan sesama, pertama-tama kepada Yesus, untuk saling memperhatikan satu sama lain, dan tidak tinggal dalam keterasingan serta sikap acuh tak acuh kepada keadaan sesama kita. Namun demikian, terlalu sering sikap yang kita tunjukkan justru sebaliknya: yaitu pengabaian dan keacuhan yang lahir dari keegoisan yang disamarkan sebagai tindakan menghargai “privasi”. Saat ini pun, suara Tuhan meminta kita semua untuk saling memperhatikan satu sama lain. Bahkan hari ini, Tuhan meminta kita untuk menjadi “penjaga” saudara dan saudari kita (Kej 4:9), untuk membangun suatu relasi yang didasarkan atas kepedulian satu sama lain dan perhatian kepada kesejahteraan integral jasmani dan rohani dari sesama kita. Perintah yang utama untuk mengasihi satu sama lain menuntut kita untuk mengenali tanggung jawab kita kepada sesama yang, sebagaimana halnya kita sendiri, adalah ciptaan dan anak-anak Tuhan sendiri. Menjadi saudara dan saudari dalam kemanusiaan dan, dalam banyak hal,  juga dalam iman, selayaknya menolong kita untuk mengenali di dalam diri sesama kita, sebuah kebalikan dari diri kita (alter ego), yang dicintai tanpa batas oleh Tuhan. Jika kita menanamkan pada diri kita cara ini yang memandang sesama sebagai saudara dan saudari kita, maka solidaritas, keadilan, belas kasihan dan bela rasa akan secara alamiah berkembang di dalam hati kita. Sang Pelayan Tuhan Paus Paulus VI pernah menyatakan bahwa dunia saat ini menderita terutama karena kurangnya persaudaraan: “Kebudayaan umat manusia sedang sangat sakit. Penyebabnya bukanlah karena berkurangnya sumber-sumber daya alam, dan bukan juga karena kontrol monopoli dari segelintir orang: melainkan lebih karena melemahnya ikatan persaudaraan di antara pribadi-pribadi dan di antara bangsa-bangsa (Populorum Progressio, 66).
Kepedulian kepada sesama berkaitan juga dengan menginginkan segala yang baik untuk mereka dari setiap sudut pandang: baik fisik, moral, maupun spiritual. Budaya kontemporer nampaknya telah kehilangan naluri untuk membedakan yang baik dari yang jahat, namun disadari tetap ada suatu kebutuhan yang nyata untuk menyatakan kembali bahwa kebaikan itu ada dan akan mengatasi [yang jahat], karena Allah “baik dan berbuat baik” (Mzm 119:68). Kebaikan adalah segala sesuatu yang bersifat memberi, melindungi, dan menjunjung tinggi kehidupan, persaudaraan, dan persekututuan. Maka tanggung jawab kepada sesama berarti menginginkan dan mengusahakan kebaikan sesama, dalam harapan bahwa mereka pun menjadi mudah menerima kebaikan dan tuntutan- tuntutannya. Peduli kepada sesama berarti menjadi peka akan kebutuhan-kebutuhan mereka. Injil Suci memperingatkan kita akan bahaya bahwa hati kita dapat menjadi keras karena “ketidaksadaran spiritual”, yang membuat kita tidak peka dan mati rasa terhadap penderitaan sesama. Penulis Injil Lukas mengaitkan dua perumpaan Yesus dengan membuat contoh. Di dalam perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati, sang imam dan sang orang Lewi lewat begitu saja,  tidak peduli akan keberadaan seseorang yang dirampok dan dipukuli oleh para perampok (bdk. Luk 10:30-32). Dalam kisah perumpamaan Orang Kaya dan Lazarus yang Miskin, si orang kaya tidak peduli pada kemiskinan Lazarus, yang sedang kelaparan hingga sekarat di depan pintu rumahnya yang ada di depan matanya (bdk. Luk 16:19). Kedua perumpamaan tersebut menunjukkan contoh-contoh kebalikan dari  “menjadi peduli”, yaitu sikap menaruh perhatian kepada sesama dengan penuh cinta dan belas kasihan. Apa yang menghalangi pandangan kemanusiaan dan penuh cinta kepada saudara dan saudari kita ini? Seringkali, penyebabnya adalah kepemilikan kekayaan materi dan perasaan berkecukupan akan segala sesuatu, namun bisa juga penyebabnya adalah kecenderungan untuk meletakkan segala kepentingan/ keinginan, dan masalah kita sendiri di atas semua yang lain. Kita tak pernah boleh gagal untuk “menunjukkan belas kasihan” kepada mereka yang menderita. Hati kita tak pernah boleh terlalu terbungkus rapat oleh urusan-urusan dan masalah-masalah kita sehingga hati kita tak mampu mendengar jeritan kaum miskin. Kerendahan hati dan pengalaman pribadi akan penderitaan dapat membangkitkan dalam diri kita, suatu naluri belas kasihan dan empati. “Orang benar mengetahui hak orang lemah, tetapi orang fasik tidak memahaminya” (Ams 29:7). Kita kemudian dapat memahami sikap dari “mereka yang meratap” (Mat 5:5), mereka yang mampu melihat melampaui diri sendiri dan merasakan belas kasihan terhadap penderitaan orang lain. Menjangkau orang lain dan membuka hati kita kepada kebutuhan-kebutuhan mereka dapat menjadi sebuah kesempatan bagi  keselamatan dan keadaan terberkati.
“Menjadi peduli satu sama lain” juga mengikutsertakan sikap menaruh perhatian pada kesejahteraan jasmani dan rohani satu sama lain. Di sini saya ingin menyebutkan sebuah aspek hidup Kristiani, yang saya percaya telah cukup terlupakan selama ini: koreksi persaudaraan dalam pandangan keselamatan abadi. Dewasa ini, secara umum, kita menjadi sangat peka kepada gagasan perbuatan amal kasih dan kepedulian kepada kesejahteraan fisik dan materi dari sesama, namun hampir sepenuhnya diam mengenai tanggung jawab spiritual kita kepada saudara dan saudari kita. Hal ini tidak menjadi persoalan di dalam jemaat Gereja perdana atau di dalam komunitas yang telah sangat dewasa dalam iman, [yaitu] mereka yang peduli tidak hanya terhadap kesehatan fisik sesama mereka, tetapi juga terhadap kesehatan spiritual dan kehidupan kekal mereka. Kitab Suci berkata kepada kita: “Janganlah mengecam seorang pencemooh, supaya engkau jangan dibencinya, kecamlah orang bijak, maka engkau akan dikasihinya” (Ams 9:8). Kristus sendiri memerintahkan kita untuk menasehati saudara kita yang berbuat dosa (bdk. Mat 18:15). Kata yang dipergunakan untuk mengekpresikan koreksi persaudaraan – elenchein – adalah sama seperti yang biasa digunakan untuk menunjukkan misi kenabian dari orang-orang Kristen untuk menentang generasi yang mengikuti kejahatan (bdk. Ef 5:11). Tradisi Gereja juga memasukkan “memberi nasehat kepada para pendosa” di antara karya-karya karitatif rohani (belas kasihan secara rohani). Adalah penting untuk mengembalikan dimensi ini dari perbuatan amal kasih Kristiani. Kita tidak boleh tinggal diam dalam menghadapi kejahatan. Saya berpikir tentang semua umat Kristen itu yang,  karena pertimbangan manusiawi atau semata-mata karena pertimbangan kenyamanan pribadi, memilih berkompromi dengan mentalitas yang umum, daripada mengingatkan saudara dan saudarinya terhadap cara berpikir dan bertindak yang bertentangan dengan kebenaran dan yang tidak mengikuti jalan kebaikan. Menasehati secara Kristiani, tidak pernah dimotivasi oleh semangat menuduh atau menuntut balas, melainkan selalu digerakkan oleh cinta dan belas kasihan, dan tumbuh dari kepedulian yang tulus, demi kebaikan orang lain. Sebagaimana Rasul Paulus mengatakan:”Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.” (Gal 6:1). Di dalam dunia yang diliputi oleh semangat individualisme, adalah esensial untuk menemukan kembali pentingnya koreksi persaudaraan, sehingga bersama-sama kita dapat berjalan menuju kekudusan. Kitab Suci mengatakan pada kita bahwa  bahkan “tujuh kali orang benar jatuh” (Ams 24:16); semua dari kita adalah lemah dan tak sempurna (bdk. 1 Yoh 1:8). Maka, adalah suatu bentuk pelayanan yang amat berarti, untuk membantu sesama kita, dan mengizinkan mereka membantu kita, sehingga kita dapat terbuka terhadap seluruh kebenaran mengenai diri kita, memperbaiki diri kita dan berjalan dengan lebih setia di jalan Tuhan. Selalu akan ada kebutuhan terhadap sebuah pandangan yang penuh kasih dan mengingatkan, yang mengetahui dan memahami, yang membedakan secara bijak dan mengampuni (bdk. Luk 22:61), sebagaimana yang Tuhan telah kerjakan dan masih akan terus mengerjakannya di dalam diri kita masing- masing.
2. “Saling memperhatikan satu sama lain”: sebuah karunia kasih timbal balik”
Panggilan untuk “menjaga” sesama kita adalah berkebalikan dengan mentalitas yang, dengan mengurangi nilai hidup hanya kepada dimensi duniawinya saja, gagal untuk melihatnya dalam perspektif eskatologis dan menerima sembarang pilihan moral apapun atas nama kebebasan pribadi. Masyarakat seperti masyarakat kita dapat menjadi buta terhadap penderitaan fisik dan tuntutan spiritual dan moral kehidupan. Hal ini tak boleh terjadi dalam komunitas Kristiani! Rasul Paulus mendorong kita untuk mengejar “apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun” (Rom 14:19) demi kebaikan sesama, “untuk mendukung satu sama lain” (Rom 15:2), mencari bukan keuntungan pribadi melainkan lebih kepada “kebaikan setiap orang yang lain, sehingga mereka dapat diselamatkan” (1Kor 10:33). Koreksi yang saling membangun, dukungan dalam semangat kerendahan hati, dan perbuatan amal kasih harus menjadi bagian dari kehidupan komunitas Kristiani.
Murid-murid Tuhan, dipersatukan dengan Dia melalui Ekaristi, hidup dalam persaudaraan yang menyatukan mereka satu dengan yang lain sebagai anggota-anggota dari satu tubuh. Hal ini berarti bahwa sesama adalah bagian dari diriku, dan bahwa hidupnya, keselamatannya, berkaitan dengan hidup dan keselamatanku sendiri. Di sini kita menyentuh aspek yang mendasar dari persekutuan: keberadaan kita berkaitan erat dengan keberadaan orang lain, baik dalam suka maupun duka. Baik dosa-dosa kita maupun perbuatan-perbuatan kasih kita, sama-sama mempunyai dimensi sosial. Hubungan kasih timbal balik ini nampak di dalam Gereja, tubuh mistik Kristus: komunitas tersebut senantiasa melakukan pertobatan, dan memohon pengampunan atas dosa-dosa anggotanya, namun juga tak pernah gagal untuk bersukacita dalam teladan-teladan kebajikan dan perbuatan amal kasih yang hadir di tengah-tengahnya. Sebagaimana St. Paulus berkata: “supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan (1 Kor 12:25), sebab kita semua adalah anggota dari satu tubuh. Perbuatan amal kasih kepada saudara dan saudari kita – sebagaimana dinyatakan dalam pemberian derma, sebuah perbuatan yang diiringi dengan doa dan puasa, adalah perbuatan yang menjadi ciri khas masa Prapaskah – berakar dari kepemilikan bersama. Umat Kristiani juga dapat menyatakan keanggotaannya di dalam satu tubuh yang adalah Gereja melalui kepedulian yang konkrit bagi mereka yang paling miskin dari yang miskin. Kepedulian kepada satu sama lain juga berarti mengakui kebaikan yang sedang dikerjakan Tuhan dalam diri sesama dan menaikkan ucapan syukur atas keajaiban rahmat di mana Allah Yang Maha Besar di dalam segala kebaikan-Nya terus menerus menggenapinya di dalam diri anak-anak-Nya. Ketika umat Kristen memandang bahwa Roh Kudus sedang terus bekerja di dalam diri sesama, mereka tidak dapat berbuat yang lain selain bersukacita dan memuliakan Allah Bapa di surga (bdk. Mat 5:16).
3. “Supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik”: berjalan bersama dalam kekudusan.
Kata-kata dari Surat kepada orang Ibrani ini (10:24) mendorong kita untuk merefleksikan panggilan universal kepada kekudusan, sebuah perjalanan yang terus menerus dari kehidupan spiritual sebagaimana kita mengusahakan untuk memperoleh karunia-karunia spiritual yang lebih utama dan kepada perbuatan amal kasih yang lebih bermakna dan berhasil guna (bdk. 1 Kor 12:31-13:13). Menjadi peduli satu sama lain selayaknya menggerakkan kita kepada kasih yang bertambah dan lebih efektif di mana, “seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari” (Ams 4:18), membuat kita hidup setiap hari sebagai antisipasi akan datangnya hidup kekal yang menantikan kita di dalam Tuhan. Waktu yang dikaruniakan kepada kita dalam hidup ini adalah berharga untuk menilai secara bijaksana dan menampilkan perbuatan-perbuatan yang baik dalam cinta kasih kepada Tuhan. Dengan cara ini, Gereja sendiri senantiasa tumbuh kepada kedewasaan penuh di dalam Kristus (bdk. Ef 4:13). Ajakan kita untuk mendorong satu sama lain untuk meraih kepenuhan cinta dan perbuatan baik berada di dalam prospek pertumbuhan yang dinamis ini.
Sayangnya, senantiasa ada godaan untuk menjadi suam-suam kuku, untuk memadamkan Roh, untuk menolak menanamkan berbagai talenta yang telah kita terima, demi kebaikan kita sendiri dan kebaikan sesama kita (lih. Mat 25:25–). Semua dari kita telah menerima kekayaan spiritual atau material yang dimaksudkan untuk digunakan bagi kepenuhan rencana Allah, demi kebaikan Gereja dan demi keselamatan kita sendiri (bdk. Luk 12:21b; 1 Tim 6:18). Pakar-pakar rohani mengingatkan kita, bahwa dalam kehidupan beriman, mereka yang tidak bertumbuh akan dengan sendirinya mengalami kemunduran. Saudara dan saudari yang terkasih, marilah kita menerima undangan ini, hari ini, seperti tak ada waktu lain yang lebih baik, untuk menuju ke “standar yang tinggi dari kehidupan Kristiani” (Novo Millennio Ineunte, 31). Kebijaksanaan Gereja dalam mengenali dan memproklamasikan orang-orang Kristen tertentu yang luar biasa sebagai Yang Terberkati dan para Santo/a juga dimaksudkan untuk menginspirasi sesama agar mencontoh kebajikan mereka. Santo Paulus menghimbau kita untuk “saling mendahului dalam memberi hormat” (Rom 12:10).
Dalam dunia yang menuntut dari umat Kristen sebuah kesaksian yang diperbaharui akan cinta dan kesetiaan kepada Tuhan, kiranya kita semua merasakan kebutuhan yang mendesak untuk saling mendahului dalam berbuat amal kasih, pelayanan dan pekerjaan-pekerjaan baik (bdk. Ibr 6:10). Permohonan ini terutama ditekankan dalam bulan yang suci ini sebagai persiapan Paskah. Sebagaimana saya menaikkan harapan-harapan yang baik dalam doa-doa saya demi masa Prapaskah yang penuh berkat dan menghasilkan banyak buah, saya mempercayakan Anda semua dalam perantaraan doa Bunda Maria Tetap Perawan dan dengan penuh kehangatan saya memberikan Berkat Apostolik saya.


Dari Vatikan, 3 November 2011
Bapa Paus Benediktus XVI

Rabu, 24 Agustus 2011

HAL-HAL PRAKTIS SAKRAMEN DAN SAKRAMENTALI

Aneka pedoman praktis berikut dirumuskan mengingat sering munculnya pertanyaan-pertanyaan di tengah umat. Harapannya, dengan munculnya pedoman ini, sedikit banyak dapat menjawab kebingungan tersebut. Ada beberapa sumber acuan yang dipakai: Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983, Statuta Keuskupan Regio Jawa 1995, dan aneka pengalaman berpastoral. Tentu saja sumber acuan pengalaman berpastoral bersifat situasional. Pengambilan kebijakan di tempat yang satu, belum tentu cocok untuk di tempat lain. Yang menjadi prinsip, tidak menyimpang terlalu jauh dari sumber acuan yang resmi dan pokok (yakni KHK dan SKRJ).

I. Sakramen Baptis

  1. Baptis Bayi/Anak

· Dilaksanakan pada saat anak berumur antara 0-7 tahun (bdk. Kan 7 § 2, Kan 11).

· Prinsip pokok: adanya jaminan pendidikan iman katolik bagi anak.

Bagaimana jika orang tua tidak/belum katolik atau perkawinan orangtuanya bermasalah/tidak sah? Baptis tetap bisa dijalankan asal ada jaminan pendidikan iman anak (bdk. SKRJ pasal 84).

· Syarat administratif: 1) surat baptis orang tua (bila ada), 2) surat menikah orang tua (sejauh ada – tidak berlaku bila anak lahir di luar kondisi normal. Misalnya, korban perkosaan, hasil selingkuh tanpa menikah, kumpul kebo, dsj), 3) pengantar pengurus lingkungan.

· Bila usia anak sudah lebih dari 7 tahun, sebaiknya menunggu baptisan dewasa (mulai kelas 6 SD ke atas). Atau tetap bisa baptis, hanya tidak langsung terima komuni I. Perlu menunggu sampai umur menerima komuni I, yaitu 10 th atau kelas 4 SD.

  1. Baptis Remaja/Dewasa

· Mereka dianggap sudah dewasa untuk mengambil keputusan, termasuk untuk baptis.

· Syarat-syarat yang harus dipenuhi:

a. Menempuh pelajaran katekumenat secukupnya. Kira-kira 1 tahun dengan frekwensi pelajaran agama sekitar 40-50 jam (SKRJ pasal 80 ay 1).

b. Meminta pengantar (rekomendasi) dari pengurus lingkungan.

c. Bila sudah menikah, menyertakan fotokopi surat nikah. Bila dulu menikah di luar Gereja dengan pasangan yang sudah baptis katolik, sebelum ia baptis, pernikahan harus dibereskan/disahkan terlebih dahulu. Tetapi, bila dulu menikah di luar Gereja dalam kondisi keduanya belum baptis, tidak menjadi masalah.

d. Tidak dalam keadaan melanggar ajaran Gereja (masih percaya kepada tahyul, klenik, mempunyai jimat, dsj, perkawinan belum sah, dsb).

  1. Baptis Darurat

· Baptis yang diberikan kepada mereka yang hampir meninggal.

· Syarat-syarat yang harus dipenuhi:

a. Diberikan pada saat yang bersangkutan belum meninggal. Bila sudah meninggal, pembaptisan tidak dilaksanakan. Bila masih koma, pembaptisan boleh dilaksanakan.

b. Calon sudah atau sedang mengikuti pelajaran calon baptis (sebagai katekumin).

c. Jika ia bukan katekumin, ia pernah menyatakan keinginannya untuk menjadi katolik. Untuk ini, perlu ada saksi.

d. Ada yang menjamin/mendampingi pendidikan iman katolik jika kelak yang bersangkutan sehat kembali.

e. Pembaptisan bisa dilaksanakan oleh siapa saja (termasuk oleh orang bukan katolik, asal tahu formanya - dibaptis dalam nama Bapa, Putera, Roh Kudus, dan tahu materianya – diguyur atau ditenggelamkan dalam air).

f. Bila tidak jadi meninggal, yang bersangkutan tidak boleh begitu saja menerima pelayanan sakramen yang lain, misalnya komuni atau krisma. Sebelumnya harus dipersiapkan secara memadai.

· Segera dicatatkan pada buku baptis paroki oleh ketua lingkungan dibantu sekretariat paroki.

  1. Baptis Bersyarat (kan. 869)

· Baptis yang diberikan kepada mereka yang dulu pembaptisannya diragukan keabsahannya. Ini disebut baptisan sub conditione. Misalnya

Ø dulu ketika baptis dalam kondisi sakit berat sehingga tidak merasa pasti apakah dalam kondisi masih hidup atau sudah meninggal meski kini hidup kembali;

Ø ketika baptis dalam situasi gawat (perang), belum sempat mencatatkan dan sekarang lupa;

Ø ketika baptis masih bayi, para saksi sudah tidak ada lagi, dan belum dicatatkan di paroki tempat baptis. Sementara menurut cerita, katanya sudah pernah baptis.

· Formanya (kata-kata pembaptisannya): “Seandainya baptismu yang dulu belum sah, aku membaptismu dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus.”

· Maka, pembaptisan bersyarat bermaksud menegaskan dan meyakinkan kalau baptis yang pernah diterima dulu diragukan keabsahannya, baptis yang sekarang ini yang dianggap sah. Tetapi, seandainya baptis yang dulu sudah sah, baptis yang sekarang dianggap tidak berlaku.

· Pembaptisan kemudian dicatatkan pada buku baptis di paroki. Bila sudah pernah tercatat dalam buku baptis, kemudian ditambahkan keterangan tentang dilakukannya pembaptisan bersyarat (sub conditione).

Catatan Tambahan untuk Sakramen Baptis:

1. Bagaimana bila ada orang Kristen yang akan menjadi warga Gereja Katolik?

a. Bagi yang pernah menerima pembaptisan di gereja Kristen, asal pembaptisannya sudah diakui oleh Gereja Katolik, tidak perlu baptis lagi bila ingin menjadi warga Gereja Katolik.

b. Sebelumnya, cukup diberi pembekalan ajaran iman yang khas Katolik (misalnya, sakramen-sakramen, devosi, orang kudus, hierarki, Bunda Maria) dan kemudian diterima di pangkuan Gereja Katolik dengan mengucapkan syahadat para rasul yang panjang di hadapan jemaat.

c. Penerimaan ini dicatat di buku baptis.

d. Kriteria apakah sebuah pembaptisan diakui oleh Gereja Katolik, bisa dilihat dari materia dan formanya. Materinya adalah dengan air yang mengalir atau ditenggelamkan, bukan dipercikkan. Formanya adalah kata-kata pembaptisan yang kurang lebih mengatakan bahwa pembaptisan dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus.

2. Siapakah emban/wali baptis?

a. Kehadiran emban/wali baptis tidak menjadi syarat mutlak baginya sahnya sebuah pembaptisan. Dalam keadaan gawat/darurat, pembaptisan tetap sah bila tanpa emban/wali baptis.

b. Tetapi, dalam kondisi normal, keberadaan emban/wali baptis hendaknya diusahakan.

c. Dalam kondisi normal, mereka perlu mutlak hadir. Bila tiba-tiba berhalangan, diharapkan supaya mencari ganti.

d. Emban/wali baptis hendaknya dianggap sebagai orang tua sendiri dan mereka hendaknya yang berjenis kelamin sama dengan calon baptis demi menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.

e. Lebih jauh kanon mengatur tentang wali baptis (kan. 874 § 1):

10 ditunjuk oleh calon baptis sendiri atau oleh orangtuanya atau oleh orang yang mewakili mereka atau, bila mereka itu tidak ada, oleh pastor paroki atau pelayan baptis, selain itu ia cakap dan mau melaksanakan tugas itu;

20 telah berumur genap enambelas tahun, kecuali umur lain ditentukan oleh Uskup diosesan atau ada kekecualian yang atas alasan wajar dianggap dapat diterima oleh pastor paroki atau pelayan baptis;

30 seorang katolik yang telah menerima penguatan dan sakramen Ekaristi mahakudus, lagipula hidup sesuai dengan iman dan tugas yang diterimanya;

40 tidak terkena suatu hukuman kanonik yang dijatuhkan atau dinyatakan secara legitim;

50 bukan ayah atau ibu dari calon baptis.

II. Sakramen Ekaristi (Komuni)

  1. Syarat-syarat mau menerima komuni:

a. Sudah baptis katolik.

b. Yang sadar berdosa berat, tanpa terlebih dahulu menerima sakramen pengakuan, jangan merayakan Misa atau menerima Tubuh Tuhan, kecuali ada alasan berat serta tiada kesempatan mengaku; dalam hal demikian hendaknya ia ingat bahwa ia wajib membuat tobat sempurna, yang mengandung niat untuk mengaku sesegera mungkin. (kan. 916).

c. Tidak makan atau minum satu jam sebelum Perayaan Ekaristi (kecuali dalam kondisi sakit). (kan. 919 § 1)

d. Mengikuti seluruh rangkaian Perayaan Ekaristi secara utuh (kecuali sakit).

e. Boleh menerima komuni lebih dari satu kali dalam sehari dengan intensi/ujub yang berbeda. Ini sebagai bentuk keterlibatan penuh dalam ujub/intensi tersebut. Misalnya, pagi menerima komuni ketika misa harian, masih dapat menerima lagi ketika siang mengikuti Misa pernikahan, sore ikut Misa memule, dsb. (kan. 917)

  1. Komuni I bagi anak-anak. (kan. 913) Syarat dan ketentuan:

a. Mendaftarkan diri, entah ke sekretariat paroki, ke sekolah, atau pihak lain yang ditunjuk untuk itu.

b. Menyerahkan surat baptis asli.

c. Mengikuti persiapan penerimaan komuni I.

d. Menerima sakramen tobat dulu.

e. Komuni I biasanya diberikan pada hari Raya Tubuh dan Darah Kristus atau pada momen khusus (misalnya, pada saat hari paroki).

f. Diberikan kepada mereka yang mulai duduk di kelas IV SD. Hukum mengatur anak yang dapat menerima komuni bila ia dapat membedakan Tubuh Kristus dari makanan biasa serta menyambut komuni dengan hormat.

g. Lebih lanjut KHK mengatakan (Kan 913):

§ 1 - Agar Ekaristi mahakudus dapat diterimakan kepada anak-anak, dituntut bahwa mereka memiliki pemahaman cukup dan telah dipersiapkan dengan seksama, sehingga dapat memahami misteri Kristus sesuai dengan daya-tangkap mereka dan mampu menyambut Tubuh Tuhan dengan iman dan khidmat.

§ 2. Tetapi anak-anak yang berada dalam bahaya maut dapat diberi Ekaristi mahakudus, bila mereka dapat membedakan Tubuh Kristus dari makanan biasa serta menyambut komuni dengan hormat.

  1. Komuni I bagi baptisan remaja dan dewasa:

a. Bila pembaptisan dilaksanakan dalam Perayaan Ekaristi, komuni diberikan pada saat itu juga. Bila pembaptisan di luar Perayaan Ekaristi, komuni diberikan pada hari Minggu terdekat setelah pembaptisan.

b. Pada pembaptisan darurat/bersyarat, bila memungkinkan komuni I diberikan pada saat itu juga. Asal yang menerimanya sudah siap dan mengerti.

  1. Komuni bagi orang sakit:

a. Bagi yang menderita sakit, lansia, dan cacat, bisa dikirim komuni oleh romo, suster, bruder, atau petugas awam (prodiakon).

b. Syarat-syaratnya:

i. Yang menerima sungguh-sungguh sakit, lansia dan cacat.

ii. Yang menerima tidak berada dalam dosa berat (misalnya, membunuh) dan atau melanggar hukum Gereja (misalnya, perkawinan tidak sah).

iii. Sadar dan tahu makna komuni.

iv. Ada jadwal tetap.

  1. Komuni bagi orang yang mau meninggal (komuni bekal suci/viaticum):

a. Halangan-halangan yang dimiliki oleh yang akan menerima dapat diabaikan.

b. Diberi minyak suci dan kemudian komuni.

  1. Komuni bagi yang terhalang secara tetap dan tidak bisa diselesaikan:

a. Misalnya, mereka yang menikah secara tidak sah dan tidak bisa dibereskan, entah melalui convalidatio simplex (pemberesan biasa), melalui sanatio in radice (penyembuhan pada akar), melalui tribunal (pengadilan gerejawi) maupun ke rota romana (di Vatikan). Atau mengalami kesulitan untuk menempuh pelbagai cara itu. Proses pemberesannya, silakan lihat pada uraian tentang sakramen perkawinan.

b. Dapat meminta ke panitia pastoral keuskupan untuk mendapatkan kemurahan menyambut komuni, dengan syarat:

i. yang bersangkutan hidup baik dengan dikuatkan oleh dua orang saksi; pernyataan dari 2 orang saksi ditulis secara terpisah.

ii. minta pengantar dari pengurus lingkungan;

iii. menyerahkan surat baptis dan surat nikah (sejauh ada);

iv. menghadap romo paroki agar diuruskan ke panitia pastoral.

c. Kemurahan pastoral ini diberikan bukan berarti Gereja menyetujui dan merestui pelanggaran mereka.

d. Catatan: tidak setiap keuskupan mempunyai panitia pastoral untuk mengurusi hal ini.

III. Sakramen Krisma/Penguatan

  1. Makna Sakramen Krisma/Penguatan: semakin mendewasakan umat dalam beriman dan membuatnya berani untuk menjadi saksi iman ke luar/ekstern. (Dalam sakramen baptis, umat menjadi saksi iman ke dalam/intern).
  2. Sakramen ini diberikan oleh bapak uskup atau wakilnya atau pastor lain yang mendapat mandat untuk itu.
  3. Bagi yang menerima baptisan darurat/lansia, bisa langsung diberikan segera setelah baptis.
  4. Syarat-syaratnya:

i. Sudah baptis secara sah.

ii. Mendaftar ke sekretariat paroki atau lewat pengurus lingkungan.

iii. Menyerahkan surat baptis asli terbaru.

iv. Mengikuti pelajaran krisma dan latihan.

v. Diberikan pada usia Sekolah Menengah Pertama (13-15 tahun)

vi. Terlebih dahulu menerima sakramen tobat.

vii. Wali krisma idealnya sama dengan wali baptis (kan. 893 §2) , atau menurut kesepakatan lain karena situasi yang menuntut itu.

viii. Pelaksanaan penerimaan menyesuaikan agenda bapak uskup.

IV. Sakramen Perkawinan

A. Persyaratan Pelaksanaan Pernikahan:

1. Calon mempelai (yang katolik) meminta surat pengantar dari pengurus lingkungan.

2. Calon mendaftar ke sekretariat paroki kurang lebih 3 bulan sebelum pernikahan.

3. Memenuhi syarat-syarat sipil dan gerejani. Apa saja syaratnya silakan tanya ke sekretariat.

4. Kedua calon mengikuti kursus persiapan perkawinan.

5. Menghubungi romo paroki untuk konsultasi tentang kapan waktu kanonik, kapan menikah dan bagaimana tatacaranya (juga bagaimana pelaksanaan pernikahan pada masa adven dan prapaska).

6. Perkawinan sebaiknya diberkati oleh romo paroki, kecuali kalau situasi dan kondisi menuntut lain.

7. Dapat menikah di luar paroki asal ada ijin dari romo paroki.

B. Perkawinan tidak sah dan cara pemberesan:

  1. Mendeteksi keabsahan (validitas) perkawinan:

a. Subyek/Pelaku Perkawinan

i. Dijalankan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (kan. 1055, 1057).

ii. Sehat jasmani dan rohani, serta mampu secara hukum (tidak ada halangan nikah) (kan. 1057, 1083-1094).

b. Perjanjian/kesepakatan diucapkan dengan:

i. Sungguh-sungguh (verus) (kan. 1101 §1)

ii. Penuh, total, tidak mengecualikan sifat-unsur hakiki perkawinan katolik (kan. 1101 §).

iii. Bebas, tanpa tekanan/paksaan (kan. 1103)

c. Pelaksanaan tata peneguhan (kan. 1108)

i. Di depan otoritas Gereja (seorang yang tertahbis: diakon, imam, uskup)

ii. Di depan 2 orang saksi.

  1. Bila sebuah perkawinan tidak memenuhi kriteria di atas, perkawinan menjadi tidak sah.
  2. Untuk mengesahkan/membereskan perkawinan yang tidak sah bisa ditempuh dengan salah satu cara berikut:

a. Konvalidasi biasa (convalidatio simplex) (kan. 1156-1160), dengan syarat:

i. ada harapan besar perkawinan lestari sampai akhir,

ii. pihak non katolik bersedia untuk bersama-sama membereskan perkawinan,

iii. pihak katolik membaharui surat baptis di sekretariat paroki,

iv. menyertakan fotokopi surat nikah,

v. minta surat pengantar dari pengurus lingkungan,

vi. pihak laki-laki maupun perempuan menjalani penyelidikan kanonik,

vii. tanpa ada pengumuman pernikahan,

viii. bila sudah siap segalanya, dilangsungkan pernikahan di hadapan otoritas Gereja dan 2 orang saksi,

ix. konvalidasi dicatat dengan jelas di buku baptis dan buku pernikahan.

b. Penyembuhan pada akar (sanatio in radice) (kan. 1161-1165), dengan syarat:

i. ada harapan besar perkawinan lestari sampai akhir,

ii. pihak non katolik tidak bersedia bersama-sama membereskan perkawinan,

iii. pihak katolik membaharui surat baptis di sekretariat paroki,

iv. pihak katolik membuat garis besar riwayat perkawinan, dimulai dari masa pacaran, menikah, sampai punya anak, dan bagaimana pendidikan iman anak.

v. menyertakan fotokopi surat nikah,

vi. minta surat pengantar dari pengurus lingkungan,

vii. pihak katolik menjalani penyelidikan kanonik secara sepihak saja (karena pihak non katolik tidak bersedia),

viii. romo paroki membuat surat pengantar permohonan yang dialamatkan kepada bapak uskup, dengan dilampiri surat-surat tersebut, yakni riwayat perkawinan & permohonan pemberesan pernikahan, foto kopi surat nikah di luar Gereja, dan surat baptis terbaru.

ix. Sementara itu, lembar penyelidikan kanonik disimpan di sekretariat paroki,

x. surat keputusan turun dialamatkan kepada romo paroki untuk disampaikan kepada yang bersangkutan dan dibuatkan surat perkawinan gerejani,

xi. keputusan dicatat dengan jelas di buku baptis dan buku pernikahan.

V. Sakramen Tobat

· Suatu perbuatan disebut dosa bila dilakukan secara sadar, sengaja, dan tahu melawan kehendak Allah.

· Syarat supaya rahmat pengampunan turun: menyesal dengan sungguh dan bertobat.

· Yang berkuasa mengampuni dosa adalah Tuhan Yesus Kristus. Kuasa ini diturunkan kepada para murid, para uskup dan para imam.

· Diterima minimal 2 kali dalam setahun: pada masa adven dan masa prapaska.

· Sebelum pengakuan dosa, diadakan ibadat tobat. Atau upacara persiapan lainnya yang sesuai, yang menyadarkan umat akan kedosaannya dan akan rahmat pengampunan Allah yang melimpah.

· Bagaimanaka bila jumlah peniten massal (500-1000 orang), sementara imam pelayan terbatas (1-2 orang)? Dapat dilakukan absolusi umum, dengan tetap berlaku ketentuan Kan 961. Lebih lanjut Kan 961 mengatur:

§ 1. Absolusi tidak dapat diberikan secara umum kepada banyak peniten secara bersama-sama, tanpa didahului pengakuan pribadi, kecuali:

10 bahaya maut mengancam dan tiada waktu bagi imam atau para imam untuk mendengarkan pengakuan masing-masing peniten;

20 ada kebutuhan mendesak, yakni menilik jumlah peniten tidak dapat tersedia cukup bapa pengakuan untuk mendengarkan pengakuan masing-masing dalam waktu yang layak, sehingga peniten tanpa kesalahannya sendiri akan terpaksa lama tidak dapat menikmati rahmat sakramen serta komuni suci; tetapi kebutuhan itu tidak dianggap cukup jika tidak dapat tersedianya bapa pengakuan hanya karena kedatangan jumlah besar peniten, seperti dapat terjadi pada suatu hari pesta besar atau pada suatu peziarahan.

VI. Sakramen Pengurapan Orang Sakit

· Kapan Sakramen Pengurapan Orang Sakit diberikan?

o Ketika pasien dalam kondisi sakit berat/gawat (menurut medis).

o Ketika menjelang operasi (berat/berbahaya).

o Ketika kondisi usia lanjut yang sudah surut kekuatannya.

o Sakramen dapat diulangi, bila si sakit sembuh, kemudian jatuh sakit lagi. Atau dalam penyakit yang sama timbul krisis baru.

· Dalam kondisi sakit gawat (tidak darurat), menghubungi romo guna merembug kapan romo bisa memberikan sakramen tersebut.

· Dalam kondisi gawat darurat (kritis), bisa menghubungi romo sewaktu-waktu. Untuk ini, sebelumnya perlu dicek sungguh keadaan pasien.

· Jika belum baptis, jika persyaratan terpenuhi, dapat menerima baptis darurat, sakramen krisma, dan viaticum (komuni bekal akhir).

· Bila dalam kondisi sakratul maut, asal yang bersangkutan sudah baptis, semua hal yang menghalangi (misalnya, perkawinan tidak sah, ekskomunikasi, interdik, dsb) bisa diabaikan, dan ia dapat menerima sakramen pengurapan orang sakit. Jika ia membandel dalam dosa berat yang nyata, sakramen jangan diberikan (kan. 1007).

VII. Kematian

· Bila ada kematian di lingkungan, pihak-pihak yang perlu diberi kabar lelayu:

o Umat lingkungan dan pengurusnya,

o Romo paroki untuk merembug jam pemberkatan. Bila romo paroki berhalangan, pemberkatan bisa dilakukan oleh prodiakon paroki atau oleh romo tamu yang dicari berdasarkan kesepakatan. Atau jika mereka semua berhalangan, dapat dipimpin oleh tokoh lingkungan atau yang dituakan,

o Pihak sekretariat Gereja, supaya yang meninggal dicatat di buku baptis dan buku kematian,

o Pihak-pihak lain yang dianggap perlu oleh anggota keluarga.

· Skala prioritas:

Ø Pelayanan kematian bukanlah pelayanan sakramental, melainkan sakramentali. Maka, jika pemberkatan jenazah bareng dengan pelayanan sakramen lain yang sudah disiapkan sebelumnya, hendaknya diprioritaskan secara bijaksana, entah dengan menggeser waktu atau mencari pengganti pelayannya.

Ø Bila terjadi hambatan dalam pemberkatan, misalnya bila yang meninggal katolik tetapi pihak keluarga melarang pemberkatan secara katolik, maka:

o Hendaknya dijelaskan kepada pihak keluarga bahwa pelayanan terhadap yang meninggal disesuaikan dengan iman keyakinannya/agamanya;

o Bila tetap tidak berkenan, pihak Gereja mengalah. Jangan sampai terjadi rebutan jenazah. Namun, tetap mempunyai panggilan untuk mendoakannya dengan cara lain, misalnya didoakan dalam ibadah lingkungan atau didoakan dalam intensi misa, dsb.

o Bila jauh sebelumnya diduga akan terjadi seperti itu, yang meninggal dianjurkan sebelumnya untuk membuat surat wasiat (kalau perlu dengan meteri dan tandatangan 2 orang saksi)

· Untuk mengantar saudara/i yang meninggal, pemberkatan jenazah (tanpa misa) sudah lebih dari cukup. Untuk memulenya (7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, 1000 hari), bisa dengan misa. Bila akan diadakan misa di depan jenazah, harap diperhatikan 1) persiapannya (dengan sebaik-baiknya) dan 2) sakralitasnya (kekhusukan, kekidmatan, dsj). Pengalaman menunjukkan bahwa ketika misa di depan jenazah, 2 hal tersebut terabaikan.

· Dulu Gereja melarang kremasi. Sekarang mengijinkannya, asal kremasi tidak dimaksudkan untuk menentang ajaran resmi Gereja. (bdk. Kan. 1176 § 3).