Larangan merokok yang dituangkan dalam perda no.2 tahun 2005 dan diintrodusir oleh provinsi DKI, tanggal 04 Februari yang lalu, dalam praksisnya ternyata belum banyak membawa perubahan yang begitu berarti. Masih ada saja orang-orang yang merokok sembarangan di tempat-tempat umum. Mengapa itu bisa terjadi? Persoalan merokok, kiranya tidak semata-mata hanya terkait dengan bagaimana aturan itu melarang atau memperbolehkan orang merokok, melainkan bagaimana membangun etika merokok yang muncul dari kesadaran para perokok itu sendiri. Lihat saja misalnya, dalam setiap kemasan atau bungkus rokok selalu dituliskan peringatan akan adanya akibat dari merokok: “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Tetapi anehnya, peringatan itu tidak menyurutkan orang untuk menikmati nikotin yang terkandung di dalamnya. Banyak orang, tidak hanya kaum lelaki, tetap saja mengkonsumsi rokok dan membelinya meskipun harga rokok semakin mahal. Peringatan tersebut seolah-olah tidak banyak berbicara atau memberikan pengaruh bagi penikmat rokok. Atau contoh lain misalnya, di tempat-tempat tertentu dimana ditulis “Dilarang merokok!” atau “Trimakasih anda tidak merokok!” tidak juga membuat para perokok sadar untuk tidak merokok. Entah dengan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, orang begitu saja merokok tanpa mempedulikan orang lain terganggu atau tidak. Siapa atau apa yang salah?
Berbicara tentang rokok, memang bukan lagi barang asing bagi sebagian besar masyarakat. Rokok sudah dikenal sejak lama dan bisa dikatakan sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, anak-anak usia sekolah pun sudah mengenal rokok dan mengkonsumsinya. Ada banyak alasan mengapa orang merokok. Pada awalnya, orang hanya coba-coba ingin merokok entah karena melihat orang lain merokok atau ditawari teman, yang lama kelamaan menjadi kebiasaan. Alasan yang lain, adalah demi pergaulan. Seseorang misalnya, akan tergoda kalau banyak temannya merokok sedangkan dia sendiri tidak. Situasi tersebut kemudian mendorong dia ikut-ikutan merokok, demi pergaulan dengan teman-temannya tersebut. Atau sebaliknya, demi bisa bergaul dengan teman-temannya yang biasa merokok, seseorang kemudian “terpaksa” merokok agar diterima atau bisa bersahabat dan membangun relasi dengan teman-temannya itu. Alasan yang lain lagi, untuk pelarian. Merokok bagi orang-orang tertentu dirasakan bisa mengurangi ketegangan dan stres. Dengan merokok, orang bisa merasa lebih santai, rileks dan tenang. Alasan-alasan tersebut, antara lain, membawa orang “belajar” untuk merokok dan menjadi terbiasa merokok, yang akhirnya sampai pada tahap ketagihan. Kalau sudah sampai tahap itu, sehari tidak merokok, rasanya menjadi tidak enak, mulut terasa pahit, kecut, mudah lapar dan lain sebagainya. Rokok menjadi candu. Permasalahannya adalah orang mau “belajar” merokok dan akhirnya menjadi kecanduan rokok, akan tetapi hal tersebut seringkali tidak diimbangi dengan belajar bagaimana bersopan santun dalam merokok terutama ketika berada di tempat-tempat umum atau bersama dengan orang-orang yang tidak (suka) merokok. Lalu bagaimana? Larangan yang disertai dengan denda 50 juta rupiah tersebut tentu dimunculkan dengan banyak pertimbangan. Akan tetapi, yang paling penting adalah bagaimana mendidik para perokok tersebut untuk menyadari, menghargai orang lain yang tidak merokok atau menghargai tempat-tempat umum dimana tidak semua orang merokok. Larangan tersebut merupakan sesuatu yang berasal dari luar diri para perokok. Dan inilah kesulitannya, belum tentu larangan yang berasal dari luar, apalagi yang dipaksakan, dapat menumbuhkan kesadaran dalam diri seseorang bagaimana beretika dalam merokok. Pertanyaan yang bisa dimunculkan kemudian adalah apakah larangan merokok yang diintrodusir oleh pemda provinsi DKI tersebut mampu mendidik para perokok sampai pada kesadaran dan penghargaan terhadap orang lain?? Kita lihat saja!!
dimana sih gua maria watu blencong itu?
BalasHapus