Sabtu, 21 Februari 2009

Menjadi Imam yang Happy, Committed, dan Professional


Sebagai imam yang mendapatkan tugas melanjutkan studi di Kentungan, saya merasa konteks pelayanan dan pengalaman imamat berbeda dengan imam-imam yang berada di pastoral pelayanan kategorial maupun teritorial yang lainnya. Tugas imamat saya yang utama adalah belajar formal di fakultas, “umat” saya adalah buku dan aneka situasi kuliah, tetapi tidak menutup pelayanan lain, membantu di paroki-paroki sekitar dimana saya tinggal terutama pelayanan sakramental. Menjelang Satu tahun menjadi imam ini, bagi saya pribadi telah banyak memberikan pembelajaran dalam rangka terus menerus “menjadi imam”. Apabila ketika masih menjadi frater punya visi: menjadi imam. Ketika menjadi imam, visi tersebut berlanjut: menjadi imam yang seperti apa?
Beberapa waktu yang lalu, sejauh saya ingat, saya mendapat usulan tiga kali dari umat yang berbeda, yang mengatakan “Romo mbok tersenyum pas memimpin ekaristi!” kata salah satu umat seusai perayaan Ekaristi, atau “Wah jan, orang-orang mboro kuwi pancen larang tersenyum yo!” kata salah seorang guru sesaat sebelum saya memimpin perayaana Ekaristi penutupan rekoleksi salah satu SMK di Yogyakarta. Bagi saya, ini merupakan salah satu masukan yang berharga dari umat, selain belajar untuk mendengarkan dan menerima masukan dari orang lain juga menyadarkan saya akan keberadaan imamat saya: bagaimana membawakan ungkapan syukur Gereja sendiri dalam perayaan ekaristi dan hidup sehari-hari. Tersenyum! Kiranya menjadi salah satu sarana untuk membangun dan sebagai wujud sebuah imamat yang happy terutama dalam rangka pelayanan imamat Gereja. Akan tetapi, tersenyum itu pun bagi saya pribadi perlu terus menerus belajar, dengan pertama-tama membangun hati yang penuh syukur karena menyadari kebersamaan dengan Allah yang senantiasa menuntun dan memberikan diri-Nya.
Tersenyum mengandung makna simbolis yang dalam untuk menerima dan melakukan segala pelayanan dengan gembira hati, terbuka, dan tidak mengganggap diri sudah atau lebih sempurna, melainkan sebaliknya, mau terus menerus mendengarkan dan menghayati pelayanan dengan suka cita seperti Yesus sendiri yang terus menerus mengosongkan diri-Nya di dalam pelayanan Kerajaan Allah. Banyak hal telah dan akan dihadapi, terutama pengalaman pelayanan yang tidak sesuai dengan harapan diri sendiri. Dengan tersenyum, saya dapat menerima itu dan saling belajar bersama dengan umat dan orang lain, yang saling memperkaya. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan imamat yang dihidupi, imamat sebagai tanda yang menghadirkan karya penyelamatan Allah yang menggembirakan semua orang, membawakan sukacita Allah kepada manusia.
Tentu saja, sukacita Allah ini, diwartakan oleh imam adalah dalam kerangka imamat Gereja. Oleh karena itu, pelayanan yang diberikan oleh seorang imam pun, pertama-tama ditempatkan di dalam keberadaannya di dalam Gereja, yang berfungsi menghubungkan Allah dengan Gereja, Gereja dengan Allah, dan apabila diperluas, menghubungkan Allah dengan dunia, dunia dengan Allah, dengan pertama-tama sebagai pribadi, terus menerus membangun kebersamaan dengan Allah itu sendiri. Imamat seorang imam berasal dari Gereja dan diberikan untuk Gereja dan terbuka bagi semua orang. Sehingga, seluruh pelayanan imamatnya bukan untuk pelayanan pribadi-pribadi melainkan pelayanan kepada Gereja, dalam kerangka seluruh umat Allah, meskipun yang dilayani adalah seorang pribadi tertentu, misalnya.
Di sinilah kiranya, profesi imamat ditempatkan dan profesionalitas imamat dikembangkan. Profesi dan profesionalitas imamat berada dalam organisme Gereja meskipun secara sakramental, imamat tersebut dimeteraikan dalam pribadi seseorang yang dipanggil. Seorang imam, bagian dari Gereja dan yang dilayani adalah Gereja. Hal ini sangat nyata dalam pengalaman saya pribadi terutama saat memberikan pelayanan parokial meskipun belum berada di paroki. Membangun komunikasi dengan pastur paroki, yang bertanggungjawab secara resmi, sebelum memberikan pelayanan sakramental kepada umat menjadi penting agar pelayanan yang diberikan tetap berada dalam kerangka visi dan misi paroki dan Gereja setempat.
Dalam mewujudkan dan menghayati tugas perutusan yang utama yaitu belajar, bagi saya sungguh membantu dalam mengembangkan kerangka berpikir dan pelayanan meskipun kadang-kadang terasa lebih menggembirakan berjumpa dengan umat daripada berjumpa dengan buku-buku. Akan tetapi, di sinilah saya semakin merasakan dan mengembangkan hidup perutusan di dalam imamat sebagai “bukan lagi aku yang hidup” melainkan “Kristus yang hidup di dalam diriku” (bdk kata-kata Paulus: Gal 2:20). Belajar untuk setia, seperti Kristus sendiri setia kepada tugas perutusan Allah meskipun mengalami banyak penderitaan dan kesusahan bahkan kematian, merupakan spiritualitas hidup yang menguatkan untuk membangun komitmen terhadap tugas perutusan yang dipercayakan kepada saya. Kesetiaan yang dihidupi secara bertanggungjawab untuk menunaikan tugas yang diberikan sebagai cara mewartakan Kerajaan Allah di dalam tugas perutusan saya.
Akhirnya, menghidupi imamat tidak bisa lepas dari menghidupi Yesus Kristus sendiri di dalam kehidupan saya. Kristus menjadi sumber imamat, yang memberikan kekuatan dan sekaligus image imamat sejati yang dengan penuh kesetiaan menuntaskan tugas perutusan-Nya dan sekaligus dengan senantiasa merendahkan/ mengosongkan diri dalam usaha menegakkan Kerajaan Allah melalui pelayanan-Nya kepada semua orang. Ia juga senantiasa bersukacita bukan karena hasil karya-Nya yang menggembirakan banyak orang, melainkan karena semakin banyak orang percaya kepada Allah. Semua itu dilakukan-Nya di dalam kebersamaan dengan Allah Bapa-Nya dan juga manusia. Yesus Kristus sungguh berada bersama dan tinggal bersama-sama dengan manusia. Ia menjadi sumber dan teladan imamat yang happy, committed, dan profesional.(yk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar