Selasa, 10 Maret 2009

Apakah aku (selalu) virgin….upssss!!!????

Ada ungkapan begini:
Romo, pacaran jaman sekarang kalo tidak make eM-eL (hubungan seksual) rasanya ga affdoll!!”
“Wah, udah biasa tuh, Rom! Banyak yang juga melakukan petting dengan pacarnya, koq!”

Ini adalah dua ungkapan, yang mewakili minimal dua orang cewek yang secara langsung saya dengar dalam pembicaraan sharing atau konseling pastoral. Tentu saja, dua ungkapan ini tidak bisa digunakan untuk menyimpulkan bahwa memang banyak anak muda jaman sekarang yang berbuat seperti itu (hubungan seksual di luar ikatan perkawinan, kissing-necking-petting-ML-ing dan ….ing yang lainnya lagi).
Namun, bagaimana sebenarnya kenyataan yang terjadi di jaman ini? Titik berangkatnya, mau tidak mau dari diri kita sendiri bagaimana pertanyaan itu mau kita jawab.

1. Konteks Jaman ini
Tidak bisa kita pungkiri bahwa arus globalisasi jaman ini membawa dampak perubahan perilaku yang muncul dalam diri kita. Hedonisme, instanitas, mentalitas senang – tidak senang, konsumtif begitu menggejala dalam perilaku hidup kita jaman sekarang. Berbagai fasilitas yang memudahkan hidup bagai pisau bermata dua, mendukung kehidupan tetapi juga membuat kita mudah patah perjuangan untuk membangun komitmen hidup. Hal ini sadar atau tidak mempengaruhi mentalitas dan perilaku hidup kita di jaman ini, secara khusus bagaimana kita memperlakukan tubuh kita ini. Kita lebih suka yang enak kepenak, menyenangkan, nikmat dan membuat diri kita ini merasa nyaman dan aman. Untuk mendapatkan semua itu, seringkali kemudian kita menghalalkan segala cara termasuk merendahkan martabat tubuh kita ini menjadi sarana untuk mendapatkan semua kepuasan jaman.
Arah pastoral Keuskupan Agung Semarang (KAS) yang menjadikan tahun 2007 sebagai keluarga, sungguh penting untuk kita sikapi secara positif dan bijaksana. Gereja KAS menyadari berbagai tantangan jaman yang bisa berpengaruh bagi pembangunan keluarga katolik yang sejati. Arus-arus jaman ini membuat kita sulit untuk membangun komitmen hidup yang selaras dengan kehendak Allah: menghargai martabat pribadi manusia dan kesucian perkawinan. Hal ini bisa diindikasikan dengan fenomena yang dirasakan: seks di luar ikatan perkawinan, perselingkuhan, perceraian, MBA, dan sejenisnya.
Adanya seminar ini, secara tulus saya pribadi merasa bersyukur karena, saya merasa bahwa keprihatinan akan kesucian hidup, yang dilambangkan dengan istilah “virginitas” kita rasakan sebagai masalah kita bersama, yang harus kita sikapi dalam rangka bagaimana kita musti mempersiapkan diri untuk membangun sebuah keluarga (perkawinan) yang selaras dengan kehendak Allah yang tertuang dalam hukum Gereja dan menghargai setinggi-tingginya kesucian martabat perkawinan Katolik.

2. Perawan : Panggilan untuk hidup dalam kekudusan.
Allah adalah kudus. Ia menciptakan manusia menurut kehendakNya sebagai gambar dan rupa Allah (Kej 1: 26). Menurut gambar dan rupa Allah berarti menjadi tanda kehadiran Allah bagi dunia. Itulah panggilan dasariah setiap manusia yang berada di dunia ini. Cara keberadaan manusia itu tampak dan mewujud melalui tubuh atau raganya. Manusia disebut manusia kalau ia memiliki jiwa dan tubuh, sisi rohani dan jasmani. Tubuh menjadi pengungkapan diri manusia untuk berkomunikasi dengan alam, sesama, dan Allah. Tubuh menjadi cara yang kelihatan bagi manusia untuk menanggapi kasih Allah yang telah lebih dahulu mencintai manusia. Oleh karena itu, St Paulus menasihatkan “supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Rm 12:1). Paulus juga memiliki keyakinan bahwa kita seluruh diri kita, jiwa dan raga ini adalah bait Allah, “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?
Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu.” (1Kor 3: 16-17). Dengan demikian menjadi jelas bahwa diri kita dikehendaki Allah supaya menjadi kudus sehingga kita sebagai orang beriman menanggapi kehendak Allah tersebut dengan menjaga dan memelihara kekudusan diri kita di hadapan Allah.
Berkaitan dengan kekudusan diri kita ini, Yesus sendiri mengatakan bahwa hidup tidak kawin merupakan karunia luhur untuk menjadi kudus karena kemauannya sendiri dan demi Kerajaan Allah meskipun tidak setiap orang dapat hidup tidak kawin (Mat 19: 11-12). St Paulus juga menegaskan, apabila seseorang tidak dapat bertahan untuk tidak kawin, lebih baik orang itu menikah daripada hangus oleh hawa nafsu (1Kor 7: 9). Kerapkali hawa nafsu mudah menguasai diri kita dan kita menjadi ternoda, tercemar di hadapan Allah ketika kita hanya mengikuti hawa nafsu diri kita yang membuat kita semakin jauh dengan Allah dan kekudusanNya.
Seluruh diri dan hidup manusia adalah karunia Allah yang sejak awal diciptakan, dihembusi oleh RohNya sehingga manusia hidup (Kej 2: 7). Roh Allah sudah bertahta dalam diri manusia sejak awal hidup manusia. Roh itulah yang membuat manusia hidup dan kudus, dekat dengan Allah. seluruh diri manusia adalah tahta Roh Allah yang dikehendakiNya supaya hidup kudus. Oleh karena itu, sungguh layak dan pantas apabila manusia mensyukuri seluruh diriNya dan mempersembahkan seluruh dirinya untuk hidup kudus dan tidak mencemarkannya dengan hawa nafsu, tidak menyalahgunakannya demi keinginan-keinginan sesaat. Apalagi, mempergunakan tubuhnya hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri, mengejar kepuasan dan kenikmatan sesaat.

3. Virginitas dalam Hukum Perkawinan.
Apakah virginitas atau keperawanan mempengaruhi sah / tidak nya sebuah perkawinan menurut Gereja Katolik? Gereja sungguh menjunjung tinggi kesucian martabat perkawinan. Gereja menyadari bahwa perkawinan adalah salah satu panggilan ilahi bagi umatNya untuk membangun sebuah keluarga yang menurut kehendakNya seorang laki-laki dan seorang perempuan hidup bersama, saling membantu dan menolong, menjadi satu daging (Kej 1: 24) supaya suami-istri saling menguduskan dan juga menguduskan dunia. Dengan kehendak Allah itu, Gereja menghendaki bahwa perkawinan merupakan kebersaman seluruh hidup antara seorang pria dan seorang wanita, yang terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak, dimana antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus perkawinannya diangkat ke martabat sakramen (Kan 1055), menjadi lambang hubungan Kristus dengan GerejaNya. Oleh karenanya, perkawinan Katolik bersifat monogam dan tak terceraikan, satu kali seumur hidup dengan pasangannya. Yang utama dalam perkawinan Katolik adalah bagaimana seorang laki-laki dan seorang perempuan membangun kebersamaan seluruh hidupnya dalam sebuah keluarga dan terbuka pada kelahiran anak dan pendidikannya menurut iman Katolik.
Kehendak Gereja seperti itu tidak bisa dibangun secara instan, melainkan sungguh dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum seorang laki-laki atau seorang perempuan memutuskan untuk mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan. Oleh karena itu, bagi Gereja, masa persiapan tersebut harus sudah dimulai sejak kita masih “nunut” orangtua kita: bagaimana kita meresapkan nilai-nilai dan iman kristiani dalam hidup kita. Masa pacaran, bagi Gereja, bukanlah sekedar mencari kesenangan atau supaya tidak dianggap “ga laku”, melainkan sebagai masa persiapan menuju sebuah perkawinan: bagaimana belajar untuk hidup bersama, dalam arti mengenal secara benar calon pasangannya sifat, karakter, dan kepribadiannya sehingga kita tahu betul apakah bisa hidup bersama dengan calon pasangan kita atau tidak untuk seumur hidup kita. Gereja juga memberikan pelayanan “kursus perkawinan” dalam rangka yang sama. Sebab, Gereja sungguh menyadari akan tingginya martabat perkawinan dan kesuciannya sebagai lambang persatuan Kristus dengan Gereja.
Dalam hukum perkawinan Gereja sendiri, perawan atau tidaknya, perjaka atau tidaknya, seseorang, bukanlah menjadi halangan (membuat tidak sahnya) bagi sebuah perkawinan yang kristiani karena Gereja mengandaikan bahwa laki-laki atau perempuan yang belum terikat oleh sebuah perkawinan adalah perawan / perjaka. (halangan perkawinan misalnya: umur, impotensi, ikatan perkawinan sebelumnya, beda agama, tahbisan/ kaul kekal, penculikan, pembunuhan pasangan, hubungan darah, hubungan semenda garis lurus, kumpul kebo dengan yang berhubungan darah garis lurus, adopsi). Oleh karena itu, jelas bahwa Gereja pun tidak merestui seorang laki-laki atau perempuan melakukan hubungan seksual dalam arti luas ataupun sempit (menghilangkan “keperawanan” dan “keperjakaan” nya) di luar ikatan perkawinan. Apabila ada seorang laki-laki atau perempuan melakukan hubungan seksual dengan pasangannya yang juga belum terikat perkawinan, orang-orang ini melakukan perbuatan cabul (berdosa seksual dan tidak layak menerima komuni suci). Begitu pula, mereka yang sudah terikat perkawinan dan melakukan hubungan seksual dengan bukan suami atau istrinya, mereka melakukan perbuatan zinah (berdosa seksual yang lebih berat dan tidak diperkenankan menerima komuni suci). Apalagi dalam kedua kasus tersebut, terjadi tindakan aborsi karena kehamilan yang tidak dikehendaki, secara otomatis, mereka yang melakukannya menerima hukuman ekskomunikasi (dicabut hak-haknya sebagai warga Gereja) secara otomatis (Kan 1398 – “Yang melakukan aborsi dan berhasil, terkena ekskomunikasi latae sententiae”).
Dari paham Gereja mengenai diri dan tubuh manusia yang adalah bait Allah sendiri, tampak bahwa Gereja sungguh menjunjung tinggi martabat kesucian dan keperawanan setiap orang. Manusia dipanggil untuk menjadi kudus dan berkenan di hadapan Allah yang terungkap dari perilaku dan hidup dirinya. Oleh karena itu, keperawanan atau virginitas menjadi lambang kesetiaan dan komitmen hidup yang terus menerus dibangun dihadapan Allah baik ketika kita ini (masih) hidup sendiri maupun hidup dalam sebuah perkawinan. Keperawanan pertama-tama berkaitan dengan kesetiaan kita pada panggilan Allah untuk hidup kudus. Di dalam kegadisan atau keperjakaan kita, keperawanan mengandung arti bahwa kita senantiasa menguduskan diri kita dengan berperilaku hidup di dalam kasih Allah, mempersembahkan dan memberikan diri kita selaras dengan apa yang dikehendaki Allah, bukan apa yang kita kehendaki sendiri. Di dalam hidup perkawinan, keperawanan kita mengandung arti bahwa kita menguduskan diri kita dengan mempersembahkan kesetiaan kita kepada Allah yang mewujud dalam diri pasangan hidup kita, seumur hidup. Inilah panggilan sekaligus tantangan berat di jaman ini.

4. Konsekuensi Pastoral
Tantangan jaman ini begitu berat berkaitan dengan memelihara virginitas hidup dan tubuh kita. Era dan pandangan baru mengenai tubuh kita kini mengalami pergeseran. Budaya hedonis dan mencari nikmat-senang-enak begitu kuat, dan dicapai melalui cara dan sarana apapun, termasuk mempergunakan tubuh kita ini sekedar demi mencapai kenikmatan dan kepuasan itu. Teladan kesetiaan menjadi begitu mahal di jaman ini, yang sadar atau tidak, juga mempengaruhi cara pandang dan berperilaku dalam hidup kita. Jangan-jangan, adanya berbagai macam alat kontrasepsi semakin mendukung kita untuk tidak setia???!!! So whatz???
Hal utama yang musti kita lakukan untuk menjaga dan memelihara virginitas kehidupan diri kita adalah selalu mendekatkan diri kepada Allah, sumber kekudusan hidup dan memohon rahmatNya untuk menguatkan diri kita, bertahan dalam kesetiaan hidup.
Gereja KAS melalui nota pastoral bagi keluarga-keluarga juga menganjurkan kepada kaum remaja dan muda-mudi untuk semakin menyadari bahwa perkawinan dan hidup berkeluarga yang baik bukanlah suatu hal yang sepele dan mudah. kaum muda yang merasa terpanggil untuk hidup berkeluaga diharapkan mempersiapkan diri sebaik-baiknya secara bertahap dan berkelanjutan. Setelah berkembang dalam berbagai hal baik selama masa kanak-kanak, kaum remaja diharapkan berkembang dalam menghayati seksualitas mereka, sesuai kehendak Tuhan sendiri: mengembangkan keutamaan kemurnian. Rasa tertarik dengan lawan jenis hendaknya terutama ditunjukkan dengan sikap hormat dan sikap simpatik. Muda-mudi yang sedang berpacaran diharap menjalani masa pacaran mereka secara kristiani. artinya, mereka diharap semakin saling mengenal dan saling mengasihi dengan kasih yang murni dan sejati, yaitu sabar, murah hati, sopan, dapat menyimpan rahasia, dan tak berkesudahan (1Kor 13: 1-8).



† Tuhan Senantiasa Memberkati Kita †


Tambahan:
Rasul St. Paulus dalam suratnya kepada umat di Korintus menyatakan bahwa keperawanan adalah lebih baik daripada perkawinan, yang condong memecah energi seseorang. Pernyataan Paulus ini didasarkan pada keyakinannya bahwa orang Kristen, melalui baptis telah dimasukkan dan masuk dalam kehidupan surgawi sehigga tidak lebih terikat dengan dunia ini. Dalam kehidupan surgawi, tidak ada lagi orang yang kawin dan dikawinkan.
Meski demikian, Paulus juga tidak memandang rendah sebuah perkawinan, lebih baik seseorang menikah daripada tidak mengakui (hangus) oleh kebutuhan daging (nafsu). Perkawinan menghindarkan orang dari perilaku seks yang tidak bertanggungjawab dan bersifat percabulan/ perzinahan.

Arti virginitas
Dalam New Catholic Ensyclopedia, dinyatakan ahwa virginitas atau keperawanan merupakan status dari seseorang yang tidak memiliki relasi/ hubungan seksual dan menghindarkan diri dari secara sukarela terhadap kesenangan/ kenikmatan badani yang memasukkan orang dalam perbuatan dosa. Dalam kitab suci (PL) “who had never known a man” (Kej 24; Bil 31: 18, “belum pernah bersetubuh dengan laki-laki” ) atau dalam istilahnya Maria “Bagaimana hal itu mungki terjadi, karena aku belum bersuami?” (Luk 1: 24)
Dalam kebudayaan-kebudayaan kuno, virginitas sungguh dihargai dan dihormati menjadi lambang kemurnian dan kesegaran, yang dianggap sebagai sumber berkat, kekuatan dan daya hidup. Dalam tradisi perjanjian lama sendiri mengalami perkembangan. Dalam tradisi-tradisi awal, seorang laki-laki yang mau menikahi perempuan perawan harus “membeli” kepada ayahnya dengan sejumlah uang (50 perak) atau barang, baru kemudian perawan itu menjadi milik laki-laki yang membelinya (dalam perkawinan). Hal ini terkait dengan status perempuan waktu itu, hanyalah sebagai salah satu harta kekayaan keluarga. Meski dengan cara dibeli, seorang perempuan yang telah dikawini, tidak boleh diceraikan dengan alasan apapun, kecuali zinah. Sebab, seorang perempuan yang sudah bersuami dan diceraikan, tidak memiliki harga diri lagi di mata masyarakat israel waktu itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama semenjak masa pembuangan, orang-orang Israel semakin menyadari arti kesucian hidup. Pembuangan yang dialami mereka dipandang sebagai dampak dari kehidupan dosa yang telah dilakukan. Kesucian dan kemurnian hidup sungguh dihargai dan diperjuangkan, terlebih lagi saat masuk ke tempat-tempat suci dan peribadatan. Oleh karena itu, perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh ikut peribadatan karena dianggap cemar.
Berkaitan dengan hal itu, seorang imam yang menjadi pemimpin peribadatan, tidak lagi boleh menikah dengan sembarang perempuan, apalagi pelacur, perempuan yang telah kehilangan kehormatannya, atau jua janda, melainkan dengan perempuan yang masih perawan. Dan apabila, punya anak perempuan, yang kemudian kehilangan kehormatannya, anak perempuan itu harus dibakar sampai mati (Im 21:9), karena dianggap melanggar kekudusan ayahnya.
Demikianlah, keperawanan akhirnya menjadi lambang kekudusan hidup seseorang untuk bergaul mesra dengan Allah seutuhnya, tidak terbagi. Dalam tradisi perjanjian baru, status keperawanan ini, semakin ditegaskan dan diteladankan oleh Yesus Kristus sendiri. Di dalam injil, agar pantas menjadi pengikut/ murid Tuhan Yesus musti harus meninggalkan segala sesuatu supaya orang dapat mempersembahkan seluruh hidupnya menjadi persembahan yang hidup kepada Allah. Lukas, menyebutnya dengan “jikalau seseorang datang kepadaKU dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu” (Luk 14: 26). Sebab, orang mesti mengikuti Tuhan dengan sepenuh hati, total dan seutuhnya kepada Allah. Yohanes menyebut istilah yang menarik, “Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu.” (Yoh 15: 19). Melalui baptis, kita telah dipilih Tuhan Yesus menjadi milikNya, menjadi anak-anak Allah. Paulus pun menegaskan, lebih baik orang hidup seperti keadaan waktu dipanggil Allah: memusatkan perhatian kepada perkara Tuhan supaya tubuh dan jiwa mereka kudus (1Kor 7: 17-40, ex 34).
[1] Disampaikan menjadi bahan sarasehan Hut Stasi St. Paulus Pringgolayan ke-21 tanggal 25 Januari 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar