Kamis, 19 Maret 2009

OMK: Manakah gaya Liturgi yang cocok untuk mereka?

1. Analisis socio-kultural penghayatan agama orang muda:
Liturgi sesudah konsili Vatikan II mengemban tugas yang luarbiasa besar. Pembaruan dalam berbagai aspek diwarnai oleh penemuan nilai-nilai dasariah antara lain:.
• Kristus dan Misteri Paskah-Nya harus menjiwai seluruh doa, perayaan liturgi, tahun liturgi, hari Minggu, sakramen-sakramen, Ibadah Harian, yang menguduskan seluruh hidup manusia dari hari ke hari.
• Liturgi yang baru harus berstruktur dialogis dan mengilhami doa-doa kristiani berdasarkan Sabda Allah. Allah membuka dialog lewat Sabda-Nya, kita menjawab ajakan-Nya dengan mendengarkan, memuji, bersyukur serta mempersembahkan diri kepada-Nya.
Pada nilai-nilai dasariah ini, apa yang dapat dibuat untuk orang muda? Bagaimana Gereja mampu menggerakkan hati orang muda untuk merayakan Liturgi dan berdoa?
Orang muda selalu ada di tengah masyarakat dan mengalir bersama masyarakat. Kita dapat menjumpai aneka ragam tipe orang muda di tengah gaya hidup masyarakat yang juga beraneka ragam, dan tak jarang menemukan kenyataan-kenyataan kontradiktif, entah karena jiwa mereka yang bergelora mencari jati diri, atau juga karena kita yang secara gampangan memutlakkan pendapat sendiri tentang mereka, keliru persepsi bahkan salah tafsir. Iklim keluarga memang sangat memainkan peranan. Bersama para pendidik di sekolah-sekolah semoga ada kerjasama yang bagus demi masa depan mereka.
Dalam penghayatan agama, kita menemukan aneka ragam kwalitas orang muda. Memang dalam situasi sedemikian ini kita berhadapan dengan aneka pribadi orang muda dengan semangat religius yang berbeda, selera serta minat berbeda, serta entusiasme yang beragam terhadap segala yang datang dari lembaga keagamaan. Namun demikian saya tetap bersyukur atas kenyataan bahwa di Indonesia ini masih banyak orang muda yang rajin ke gereja, untuk merayakan Ekaristi mingguan serta aktif mengikuti kegiatan-kegiatan paroki atau organisasi-organisasi. Disamping itu pula masih lebih banyak orang muda katolik yang memiliki semangat parokial dan misioner meskipun sana sini terhalang oleh faktor pribadi antara lain kecocokan antara mereka serta rasa percaya diri. Memang dalam berbagai sektor kegiatan, Gereja berusaha membimbing orang muda sejak kecil, khususnya melalui pendidikan persekolahan dan dengan kacamata yang realistis kita pun harus mengakui keberadaan mereka yang dinamik di tengah persaudaraan kristiani.
Di tengah dinamika hidup masyarakat yang terus berkembang dan berobah ini, masa depan mereka perlu dibangun di atas konsep nilai-nilai yang sepantasnya mereka miliki:
• Tiap individu adalah pribadi berpotensi dengan kekayaan pengalaman hidup masing-masing.
• Pemahaman tentang hidup bermasyarakat dengan percaturan politik di dalamnya bukanlah sekedar ideologi tetapi merupakan jawaban atas berbagai kebutuhan kongkrit manusia.
• Keadilan dan kebebasan bukanlah suatu yang abstrak tetapi sebagai persoalan nyata dari wilayah tertentu atau pengalaman hidup suatu komunitas.
• Konsep kerja adalah sebagai ungkapan pengembangan manusia dan bukan sekedar sarana pencarian nafkah.
• Tanggungjawab dan ikatan pribadi adalah unsur-unsur tetap yang harus ditanamkan sebab dengan demikian tiap orang merealisasikan peran-sertanya pada pembangunan sejarah dan masa depan kemanusiaan.
• Sikap menerima dari pihak orang muda pada struktur dan lembaga baik social maupun gerejawi yang tidak membirokratisasi hidup manusia tetapi membebaskan. .
Seiring membangun kepekaan akan nilai-nilai itu maka dalam penghayatan agama perlu juga memperhatikan beberapa gejala pada mereka antara lain,
• Usaha pengembangan diri sebagai orang katolik dalam kegiatan-kegiatan di luar Gereja serta tingkahlaku non-religius yang dikultus setinggi langit.
• Usaha mengikat secara langsung pengalaman iman dengan perjuangan dibidang politik, sosial, budaya atau secara umum dengan jalannya sejarah.
• Pembaruan interese terhadap dimensi eklesial dan usaha mengatasi selisih pendapat aprioristik dalam hal sepele dan sempit.
• Konsep tentang penghayatan iman yang tak mungkin terpisah dari situasi budaya dan kehidupan kongkrit.
Semuanya ini dapat menjadi bahan refleksi bagi pendidikan orang muda katolik ke penghayatan iman dan hidup kristiani, dan tentu hal ini menjadi masukkan khusus bagi Liturgi ketika harus menjadi puncak dan sumber hidup dan karya mereka juga.

2. Manakah gaya Liturgi untuk orang muda?
2.1 Beberapa prinsip umum Vatikan II:
Kalau hingga kini kita belum menemukan Pedoman khusus dari Vatikan tentang Ekaristi bersama orang muda, maka dapat merupakan tanda bahwa persoalannya lebih kompleks daripada dunia anak-anak. Kita tahu, seiring terbitnya Directorium de Missis cum pueris, Pedoman tentang Misa bersama anak-anak, maka setahun kemudian, th. 1974, Kongregasi Ibadat menerbitkan tiga Doa Syukur Agung khusus buat anak-anak; yang kita kenal dalam TPE sebagai DSA VIII, IX, X. Memang dalam kenyataan, paus Yohanes Paulus II sangat memberikan perhatian kepada orang muda. Kepekaan pastoral sedemikian itu sungguh nyata dalam pembaruan Liturgi Vatikan II dan mendapat penekanan jelas dalam setiap dokumennya. Prinsip-prinsip yang mau dikembangkan dan pasti berkaitan juga dengan orang muda antara lain,
• Partisipasi: Orientasi pastoral tidak berkutat hanya pada sah atau boleh-tidaknya suatu perayaan tetapi secara khusus harus memperhitungkan partisipasi secara sadar dalam cara yang aktif dan berdaya-guna (SC 11). Selanjutnya, partisipasi itu hendaknya sedemikian rupa selaras dengan umur, kondisi, kebiasaan hidup serta rata-rata taraf penghayatan religius umat beriman (SC 19).
• Inkulturasi/ adaptasi: Dalam Liturgi, ritus dan kata-kata terkait erat satu sama lain. Tetapi kedua-duanya masih harus disesuaikan dengan daya-tangkap umat beriman (SC 34). Ini berarti dalam pembaruan Liturgi, ritus-ritus harus disederhanakan agar lebih dasariah dan lebih jelas, dan kata-kata yang digunakan hendaknya diselaraskan dengan kebiasaan dan adat-istiadat setiap suku bangsa (SC 37 dan 38). Bahkan dalam situasi biasa sehari-hari tanpa adaptasi-kultural, setiap pemimpin perayaan perlu mengusahakan penyesuaian- penyesuaian akomodatif demi partisipasi yang sungguh bersemangat dan berdaya-guna, eksternal-internal, penuh iman-harap-kasih.

2.2 Jiwa Orang Muda terkandung dalam Jiwa Liturgi:
Jiwa orang muda adalah jiwa manusia umumnya yang pada periode menjelang dewasa mengalami frekwensi letupan yang kuat dan bergelora. Berbagai dorongan kodrati bekerja lebih aktif demi pengembangan diri. Mereka menjadi sangat idealis, kritis, spontan, bersemangat meraih prestasi, ingin cepat mewujudkan cita-cita, keadaan fisiknya pun lebih segar, kuat dan sehat penuh gairah dengan pesona penampilan yang khas. Nah, dapat dibayangkan, bagaimana kira-kira mengembangkan Liturgi yang cocok buat mereka.
Syukur, pembaruan Liturgi dewasa ini justru mengangkat nilai-nilai Liturgi sebagai perayaan. Hal ini berdampak luas pada peran-serta umat yang lebih spontan lahir-bathin. Unsur dialog antara Allah dan umat-Nya lewat simbol perayaan lebih ditampilkan. Lebih dibuka peluang peran-serta umat beriman dalam berbagai tugas pelayanan liturgis. Ketika peran-serta umat menjadi begitu sulit maka digalakkan berbagai penyesuaian baik akomodatif maupun inkulturatif. Umat yang hadir diusahakan dalam berbagai cara agar tidak menjadi seperti orang asing atau penonton yang bisu (SC 48).
Keterbukaan Liturgi dengan semangat penyesuaian akomodatif menurut tingkat umur, kelompok kategorial, membuka peluang bagi ungkapan-ungkapan jiwa orang muda sehingga dalam “gaya”nya mereka lebih akrab berkomunikasi dengan Tuhan dalam kebersamaan dengan rekan-rekan yang lain. Oleh karena itu beberapa unsur Liturgi berikut ini perlu dirancang secara terpadu dengan baik bagi orang muda.
• Kreativitas: Perayaan Liturgi dewasa ini menawarkan diri sebagai wadah kreativitas, bukan sekedar realitas dengan berbagai pengulangan serba mekanis. Kreativitas sekaligus berarti ada kebebasan untuk mengungkapkan jiwa muda. Liturgi memiliki latarbelakang sejarah sebagai wadah pengembangan kreativitas dalam Roh dengan berbagai ungkapan yang selalu baru untuk memuji, bersyukur atas segala karya Allah yang ajaib di tengah berbagai pengalaman hidup manusia dalam budayanya. Gereja menghidupkan Liturginya dan hadir di tengah orang muda sebagai perayaan yang selalu actual dalam terang misteri ‘Kebangkitan’ Kristus
• Pesta: Liturgi memiliki ciri ‘pesta’ dimana ada kegembiraan dan spontanitas, ada ungkapan musik, nyanyian, tata-gerak, imaginasi, puisi, keindahan hiasan dan penampilan. Semuanya ini mengalir dari partisipasi lahiriah yang ditampilkan oleh semangat pembaruan untuk melengkapi partisipasi bathiniah yang lebih menjadi ciri partisipasi ‘tempo doeloe’. Gereja dewasa ini menghadirkan warna Liturgi yang lebih hidup bagi umat beriman sesuai dengan kebesaran Misteri Paskah Kristus yang membawa optimisme iman dalam cinta persaudaraan dan keakraban satu sama lain.
• Menyatu dalam Hidup: Sabda Allah selalu berkaitan dengan hidup manusia. Sabda Allah yang sedemikian kuat menguasai doa-doa dan ritus perayaan dapat menjadi ilham paling mendasar untuk membangun sikap hidup yang baik, benar, bijaksana, dengan segala optimisme iman, harap dan kasih. Liturgi Sabda berciri dialogal antara Allah, ‘Sang Sabda’ dengan umat-Nya terkasih.Bahkan Sabda Allah dalam kesatuan dengan ritus dan kata-kata menyapa pribadi dalam kemesrahan Roh yang menyegarkan dan menggairahkan semangat hidup. Oleh karena itu sangat diharapkan bahwa homili sesuai dengan hakikatnya harus dapat membantu orang muda juga untuk melihat hubungan antara Sabda Allah dengan situasi hidup kongkrit yang mereka tahu dan lihat setiap hari. Dalam hal ini pula Liturgi sebagai sumber dan puncak hidup dan kegiatan Gereja, akan berperan lebih nyata.

3. Beberapa Inisiatif Pastoral yang dapat dikembangkan:
• Pendidikan katekese-liturgis di sekolah-sekolah katolik hendaknya mendapatkan perhatian yang memadai, demikian pula kreativitas- liturgis dalam pelaksanaan Misa sekolah menurut Directorium de Missis cum pueris sehingga anak-anak remaja calon orang muda katolik semakin trampil dan mencintai segala urusan yang berkaitan dengan Liturgi.
• Menyiapkan suatu perayaan Liturgi bersama orang muda menuntut jarak waktu untuk mengamati jiwa mereka supaya memahami bahwa tidak setiap pribadi orang muda mengharapkan hal-hal serba ‘nyentrik’. Jangan pula menyangka semua orang muda suka akan kotbah yang nyentrik. Yang pasti mereka ingin disapa dalam keakraban kerjasama; masing-masing menurut minat, bakat, ketrampilan, tanpa digurui dan dipaksa tetapi lebih dipercaya.
• Mereka perlu merasa dipercaya dalam berbagai tugas sehingga secara spontan ingin mengembangkan kreativitasnya secara lebih leluasa. Kita cukup mendampingi seperlunya demi Liturgi yang sehat dan benar. Kadang-kadang mereka mengeluh tentang sikap Dewan Paroki atau pastor yang kaku, arogan dan terlalu mengatur dan membatasi.
• Pemimpin perayaan hendaknya tahu mencipta iklim dialogal pada setiap bagian ritual yang memberi peluang untuk pengantar spontan sehingga mereka selalu dibawa ke peran-serta yang sadar dan aktif
• Perlu membangkitkan iklim kerjasama dan komunikasi yang baik antara mereka satu sama lain sambil membagikan tugas-tugas secara adil dan merata. Jiwa orang muda masih sangat peka akan komunikasi dan relasi antara mereka sendiri, sehingga mudah terpecah-belah karena hal-hal kecil.
• Peran pemimpin masih tetap diperlukan dan masih tetap dinanti sebagai sosok pribadi yang dewasa dan bijaksana; yang tahu membangkitkan keberanian mereka akan tanggungjawab bersama dan tahu memberi penghargaan positif terhadap intuisi / gerakan hati orang muda.
• Perayaan Liturgi tak terpisahkan dari semangat missioner. Suasana perayaan dengan nilai-nilai Kabar Gembira harus menyemangati mereka untuk memberi kesaksian dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu tak mungkin membayangkan suatu perayaan Ekaristi bersama orang muda sebagai arena hiburan belaka tanpa memetik hikmah dari perayaan khusus itu, tanpa mengalami kesegaran rohani dari perjumpaan ilahi dalam doa, tanpa membangkitkan niat-niat baru yang lebih bermutu untuk mengisi kehidupan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar