Kerap kali, kita digiring untuk memasuki sebuah status kehidupan yang hendak kita nikmati yaitu sebuah kepuasan, kenyamanan, keenakan, dan kebiasaan-kebiasaan yang aman dan menyenangkan, jauh dari kekuatiran, kecemasan, dan pergulatan. Siapa yang menggiring? Tidak tau, tetapi gerak hampir sebagian besar orang senantiasa mengarahkan diri dengan perjuangan kerasnya, dengan usaha dan jerih payahnya untuk mengalami sebuah “kenyamanan hidup” yang apabila sudah tercapai atau pun toh belum tercapai, orang akan terus berusaha mencicipi dan menikmati “kenyamanan” itu dengan sebaik-baiknya.
Itulah COMFORT ZONE, sebuah zona kenyamanan yang dihasilkan dari “status” seseorang. Oleh karena statusnya, orang mendapatkan kenyamanan dan keenakan di dalam hidup. Itulah pula gerak orang-orang yang hanya mencari status dalam kehidupan dan bukan peran dalam hidup. Orang yang hanya mencari status, adalah orang-orang yang hanya ingin berada dalam COMFORT ZONE dan seringkali pula tidak berani berpindah zona. Orang akan lebih suka bersarang dalam kemudahan dan kenikmatan yang ditawarkan, oleh status itu. Kita dapat mengambil contoh dari peristiwa-peristiwa kehidupan yang kita alami sendiri atau yang juga ada di sekitar kita.
Tidak perlu membayangkan lebih dahulu tapal batas apa yang harus diterobos, apalagi tapal batas wilayah geografis yang serba jauh dari jangkauan kita. Ini bukan hanya soal batas negara, batas benua. Coba bereksperimen sederhana: bila suatu saat anda yang sedang duduk di dalam kursi panjang gereja, kemudian didekati seseorang yang tidak dikenal (asing) dan duduk di sebelah anda dengan amat dekat (mepet). Apa reaksi anda? Anda pasti akan menolehnya dan kemudian bergeser duduk, memperbesar jarak. Bukan pertama-tama untuk memberikan tempat bagi dia, melainkan bahwa kita sebagai pribadi (individu) memiliki tapal batas imajiner. Ada batas imajiner kurang lebih 30 cm yang membuat orang merasa nyaman.
Yang paling dalam adalah wilayah pribadi terdalam, yang apabila diterobos, orang mengalami trauma. Lebih luar lagi adalah wilayah keakraban, yang kalau dilanggar, orang bisa marah atau merasa tertekan. Lapis berikutnya adalah wilayah personal dimana orang merasa enak berjumpa dengan orang lain. Lalu wilayah lebih luar lagi adalah wilayah sosial, dimana orang merasa enak meskipun dengan orang-orang yang tidak dikenal. Dan yang batas yang paling luar adalah wilayah publik, yaitu selebar jarak orang merasa aman berbicara di depan sebuah audiens. Dengan mengenal tapal batas wilayah yang memberi rasa aman, yang melingkar-lingkar konsentris dan pusatnya adalah diri sendiri ini, kita bisa membayangkan bagaimana caranya menerobos batas itu. Ada orang yang sangat pelan-pelan mengumpulkan keberanian hanya untuk keluar dari wilayah personal masuk ke wilayah sosial. Orang tidak mampu melakukan tindakan-tindakan kreatif karena ada batas-batas imajiner yang membuat diri sendiri merasa takut, merasa tidak mampu, merasa khawatir, merasa ragu-ragu, enggan, malas, menolak kesempatan dan banyak lainnya. Dari sini jelas arahnya. Supaya kita bisa menerobos batas-batas yang mengekang gerak kita adalah mengalami kasih Yesus sendiri.
Contoh kisah “gembala yang baik” yang meninggalkan 99 dombanya dan mencari 1 domba yang hilang (Mat 18:12) merupakan contoh sebuah keberanian kreatif mencari cara meninggalkan wilayah dimana orang merasa aman. Sebab, untuk berani pergi mencari seekor domba yang sesat itu ada banyak bahaya yaitu risiko dan kesulitan berhadapan dengan hal-hal yang membuat domba itu tersesat. Ini artinya berani mengatasi rasa takut. Ini berarti keluar dari hal-hal yang biasa dilakukan, yang sudah jadi tradisi (meskipun tradisi tidak harus diartikan negatif atau jelek). Orang merasa aman kalau hanya melakukan apa yang sudah biasa dilakukan atau sudah merasa punya pengalaman-pengalaman “makan asinnya garam” kehidupan. Mengikuti aturan dan kebiasaan adalah cara yang aman. Kalau saatnya harus berubah, menerobos kebiasaan, lalu muncul reaksi spontan, “apa maneh iki?” Mentalitas orang-orang yang suka berada di COMFORT ZONE adalah mentalitas “pokoke”. Apabila ada sesuatu yang kiranya mengancam kenyamanannya, orang bilang “pokok e........”. Berbuat yang tidak biasa menimbulkan rasa takut. Padahal, apabila semua itu keluar dari kasih yang sungguh, maka rasa takut itu sebenarnya tidak bernyali. “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan” (1Yoh 4:18). Bukankah saat ini, kita juga tetap perlu dan membangun keyakinan bahwa di tempat-tempat yang biasanya kita enggan datangi, di pelayanan-pelayanan yang kita tolak atau kita singkiri, atau macam-macam pelayanan yang kita coret dari daftar perhatian kita, malah barangkali disitulah ALLAH HADIR secara nyata dan ke sanalah kita harus menerobos masuk? atau beranikah kita juga menerobos perasaan-perasaan “tidak dipakai”, merasa terbuang, hidup adalah keluhan, ketidakmampuan untuk memberikan penghargaan dan pujian kepada orang yang lebih muda, susah memahami cara berpikir orang muda, dll agar dari situlah kita mampu mengembangkan cara-cara baru keterlibatan dalam kehidupan?
Contoh keberanian menerobos tapal batas yang dibuat oleh tradisi adalah kisah Yesus berjumpa dengan perempuan Samaria (Yoh 4:3-42):
Ia pun meninggalkan Yudea dan kembali lagi ke Galilea. Ia harus melintasi daerah Samaria. Maka sampailah Ia ke sebuah kota di Samaria, yang bernama Sikhar dekat tanah yang diberikan Yakub dahulu kepada anaknya, Yusuf. Di situ terdapat sumur Yakub. Yesus sangat letih oleh perjalanan, karena itu Ia duduk di pinggir sumur itu. Hari kira-kira pukul dua belas. Maka datanglah seorang perempuan Samaria hendak menimba air. Kata Yesus kepadanya: "Berilah Aku minum." Sebab murid-murid-Nya telah pergi ke kota membeli makanan. Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: "Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?" (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.) Jawab Yesus kepadanya: "Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup." Kata perempuan itu kepada-Nya: "Tuhan, Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu? Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya?" Jawab Yesus kepadanya: "Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal." Kata perempuan itu kepada-Nya: "Tuhan, berikanlah aku air itu, supaya aku tidak haus dan tidak usah datang lagi ke sini untuk menimba air." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, panggillah suamimu dan datang ke sini." Kata perempuan itu: "Aku tidak mempunyai suami." Kata Yesus kepadanya: "Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar." Kata perempuan itu kepada-Nya: "Tuhan, nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi. Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah." Kata Yesus kepadanya: "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran." Jawab perempuan itu kepada-Nya: "Aku tahu, bahwa Mesias akan datang, yang disebut juga Kristus; apabila Ia datang, Ia akan memberitakan segala sesuatu kepada kami." Kata Yesus kepadanya: "Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau." Pada waktu itu datanglah murid-murid-Nya dan mereka heran, bahwa Ia sedang bercakap-cakap dengan seorang perempuan. Tetapi tidak seorang pun yang berkata: "Apa yang Engkau kehendaki? Atau: Apa yang Engkau percakapkan dengan dia?" Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ: "Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?" Maka mereka pun pergi ke luar kota lalu datang kepada Yesus. Sementara itu murid-murid-Nya mengajak Dia, katanya: "Rabi, makanlah." Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Pada-Ku ada makanan yang tidak kamu kenal." Maka murid-murid itu berkata seorang kepada yang lain: "Adakah orang yang telah membawa sesuatu kepada-Nya untuk dimakan?" Kata Yesus kepada mereka: "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Bukankah kamu mengatakan: Empat bulan lagi tibalah musim menuai? Tetapi Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai. Sekarang juga penuai telah menerima upahnya dan ia mengumpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka." Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu, yang bersaksi: "Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat." Ketika orang-orang Samaria itu sampai kepada Yesus, mereka meminta kepada-Nya, supaya Ia tinggal pada mereka; dan Ia pun tinggal di situ dua hari lamanya. Dan lebih banyak lagi orang yang menjadi percaya karena perkataan-Nya, dan mereka berkata kepada perempuan itu: "Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia."
Yesus sering kali dalam hidup-Nya menerobos tapal batas. Yesus berani memulai sesuatu yang baru, yang berbeda dari tradisi: DIA mendekati dan masuk ke dunia orang-orang Samaria. Ketika Yesus memanggil murid-murid yang pertama juga mengajarkan bagaimana para murid sejak awal dimasukkan dalam RISK ZONE, zona ketidaknyamanan atau berisiko ketika mereka (para murid –red) mengikuti Dia (Mat 4:18-22 par; 19:29 par). Akan tetapi, dengan cara itulah, Yesus mengajar para murid-murid-Nya (kelompok 12 rasul) itu untuk menemukan dan mengembangkan cara-cara kreatif di dalam membangun sebuah Gereja. Kisah Yoh 4:3-42 ini memberikan inspirasi bagi kita untuk menembus tapal batas demi pelayanan. Gereja membuka kesempatan untuk berjumpa dengan orang-orang atau kelompok yang mungkin selama ini dianggap “musuh”. Gereja dituntut untuk berani melewati tembok-tembok atau kebiasaan yang sudah ada serta pergi ke tempat baru yang memberikan banyak tantangan.
Benturan antara idealisme dengan realitas atau “tempat baru” menuntut suatu kreatifitas untuk survive. Inilah sebenarnya saat-saat kritis untuk berani menerobos batas-batas dari cita-cita dan harapan yang sudah tergambar dalam pikiran menuju cara baru memasuki RISK ZONE, menemukan cara-cara baru agar orang mampu menerobos tapal batas imajinernya sendiri memasuki pengalaman personal akan Allah yang mengasihi. Berubah, bukan sekedar tahu bahwa Tuhan ada, melainkan menemukan pengalaman eksistensial atau mendasar bahwa sampai kapan pun dan kemana pun, Tuhan menyertai kita. “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:20). Dalam penyertaan-Nya itu, Dia senantiasa memanggil kita untuk bersama Dia membangun Kerajaan Allah. Maka dalam menghadapi tantangan jaman ini, perlu mencari CARA kreatif menerobos tapal batas kebiasaan yang membatasi diri sendiri, sehingga mampu mengatasi tradisi, menemukan pilihan-pilihan baru, yang memungkinkan kita menghadirkan Kerajaan-Nya, bersama orang-orang lain yang berkehendak baik, menciptakan kedamaian dan keadilan, berdialog dan mengembangkan budaya kasih, memperhatikan lingkungan hidup dan sambil mengharapkan langit dan bumi yang baru.
Menjadi bebas dan berani secara kreatif adalah hal yang diimpikan orang-orang yang mau membuat hidupnya lebih bermakna. Namun orang biasanya terhambat oleh hal-hal yang sudah rutin dilakukan. Ada kebiasaan yang menghambat, meskipun kebiasaan-kebiasaan itu pada dasarnya baik. Akan tetapi kebiasaan baik apabila tanpa rasa kritis, dapat juga menjadi batas yang menghambat. Membangun paradigma baru melalui penggunaan-penggunaan istilah yang tidak biasa menjadi salah satu cara untuk menerobos tapal batas. Tentu yang terjadi bukan sekedar perubahan istilah misalnya istilah ‘seksi’ diganti ‘tim kerja’; ‘organisasi’ diganti ‘paguyuban’, melainkan terjadinya perubahan kesadaran untuk menerobos apa yang sudah biasa, meretas batas-batas tradisi atau kebiasaan, untuk menemukan pilihan baru dalam mengembangkan pelayanan. Semakin kreatif dalam menemukan dan mengembangkan cara-cara pelayanan pastoral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar